Editorial: Alam Gambut Riau Murka

Bencana Asap, Buah Gurita Konspirasi Masa Silam

Foto Bersama: Endri Lafranpane (kiri), Drs. El Wahyudi Panggabean, MH (kanan) di salah satu caffe di Pekanbaru, Riau.

GARDAPOS.COM, PEKANBARU (RIAU) - Alam selalu mampu memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi, tidak mampu memenuhi keserakahannya (Mahatma Gandhi).

PREMIS yang menyebut, rakyat Riau selalu “korban” kekayaan alamnya, dipertegas dalam sebulan terakhir, kala Riau kembali dilanda bencana kabut asap. Kabut, berupa pencemaran udara berat, diduga bersumber dari pembakaran lahan.

Membakar, tentu saja, metode paling praktis menangani land clearing. Hemat waktu, hemat dana. Imbasnya, menebar paparan kabut asap yang mengisi sirkulasi udara. Mengganggu sistem pernafasan dan fungsi paru paru.

Sehingga, tidak hanya berpotensi melumpuhkan berbagai aktivitas manusia. Pada konsentrasi dan ukuran partikel tertentu, asap justru menyebabkan kematian dini.

Artinya, sepanjang sejarah, baru wujud paparan asaplah hasil kekayaan Riau yang diterima secara adil dan merata oleh segenap warganya.

Soal sumber asap bisa diperdebatkan. Apakah hutan Sumatera Selatan atau hutan Pelalawan. Daerah Jambi atau daerah Indragiri. Kawasan Rokan atau Kuantan. Terserah!

Hipotesis yang disepakati: pembakaran lahan yang dituding sebagai sumber asap, semata untuk memenuhi ambisi memperkaya diri dengan mengabaikan aspek tata-ramah lingkungan.

Menganut teori jalan tol; “Jalan pintas mencapai tujuan, tak perduli orang lain menderita…”

Menelusuri dengan saksama, sumber bencana asap ini, bisa jadi menyusuri tali-temali gurita yang sudah mengakar sejak lama.

Sindikasinya, tidak hanya bertaut dengan kebijakan-kebijakan pemimpin Riau sejak seperlima abad silam. Juga terjalin rapi membungkus iming-iming kesejahteraan buat warga Riau yang kemudian menjadi “korban”.

Asap yang kita hirup hari ini, diduga sebagai imbas konspirasi itu. Konspirasi yang menghalalkan tindakan ecologial violent (kekerasan lingkungan).

Konspirasi yang menjadikan Riau sebagai ladang perburuan, merupakan strategi politik klasik yang diperankan secara politik.

Hingga sempat mendudukkan dinasti militer: 5 jenderal di singgasana Gubernur Riau. Triknya, “pengamanan” aset (?).

Yang tersirat di balik itu, perburuan “emas” gelondongan di hutan Riau disusul hamparan investasi komoditas kelapa sawit di bekas lahan-lahan sisa eksploitasi. Membakar lahan, hanyalah satu link dari mata rantai perburuan itu.

Pertanyaannya: dimana posisi masyarakat marginal Riau di era perburuan dalam tiga dasa warsa ini?

Adakah mereka, menikmati hasil gemilang kayu 9 juta hektar hutan Riau yang kini sudah menjadi hamparan kebun sawit?

Atau sebaliknya, berapa persen dari total kebun kelapa sawit Riau yang mahaluas itu merupakan milik masyarakat Riau?

Jawabnya sederna. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Saat ini warga perdesaan yang dihimpit kesulitan hidup terpaksa/keranjingan melego lahan kebun karet mereka.

Tentu saja, dengan harga murah kepada para cukong tanah, suruhan para kapitalis dari perkotaan untuk pengembangan kebun kelapa sawit mereka.

(Kini, di kawasan Kampar Kiri, harga lahan kosong lebih murah dari sebungkus mie instan. Hanya Rp 900/meter).

Kasarnya, ketidakarifan pemimpin kita di Riau ini, tampaknya bukan hanya menambah angka kemiskinan dan kemelaratan, diduga kuat ikut berkontribusi atas munculnya bencana kabut asap yang kita nikmati hari ini. Mari kita lihat catatan sejarahnya.

Tidak berlebihan, menyebut ambisi mengeruk kekayaan Riau sekaligus mengorbankan rakyat, sudah dimulai sejak lama.

”Api” yang menjadi sumber asap hari ini, sudah membara sejak lama dalam sekam ketidakadilan sistem pemerintahan daerah.

Jauh-jauh hari, sebelum era hamparan sawit, proyek pencetakan sawah sudah mengawali eskpolitasi ratusan ribu hektare hutan Riau atas nama kemiskinan.

Proyek siluman yang sudah dimulai sejak era Imam Munandar ini berobsesi menyulap petani Riau dari peladang menjadi petani sawah, dalam sekejap mata.

Hutan ditebas, atas nama warga desa 1 hektar per-KK, sertfikat diagunkan ke bank, rencananya petani mengansur dari hasil panenan. Sesederhana itukah?

Toh, proyek irigasi langsung dibangun, walau diprediksi tidak berfungsi. Ratusan miliar dana tertabur. Hasilnya, dalih enteng pemerintah: “Masyarakat Riau tidak terbiasa bersawah, makanya proyek gagal total…”.

Belakangan, bau bangkai terendus jua. Ternyata, proyek yang berlangsung puluhan tahun via APBN itu, hanyalah strategi licik berburu “emas” di Hutan Riau. Illegal Logging.

Hutan ludes warga desa ketiban banjir. Kini, eks lahan-lahan perburuan kayu itu tentu sudah jadi hamparan kebun sawit. Milik siapa?

Tiga Gubernur mencoba bermanis mulut buat warga miskin Riau. Modusnya, mengiming-imingi kesejahteraan dengan kepemilikan kebun kelapa sawit lewat ekonomi kerakyatan.

Saleh Djasit, mengumbar janji muluk, kebun sawit dibangun dengan dana ratusan miliar dari APBD Riau.

Toh, hingga Saleh diciduk KPK atas tuduhan korupsi dana pembelian mobil pemadam kebakaran hutan, kebun yang dijanjikan tak kunjung kelihatan.

Era Rusli Zainal memang era semarak sawit. Malah, jika kita mengamati pertumbuhan kebun kelapa sawit kala itu, sepertinya kita terlanjur lebih cinta materi ketimbang hidup berkelanjutan.

Deskripsinya memang bertengger di angka-angka spektakuler.

Debut, eskalasinya meroket, mengingatkan saya dengan Dr. Agusnimar, M.Sc, seorang pakar pertanian Riau yang berbicara kepada media tahun 2008:

“Jika kelapa sawit terus menjadi komoditas andalan Riau, tanpa memperhatikan tanaman karet, saya khawatir dampaknya sangat buruk” (Forum Kerakyatan, 2008).

Sah saja. Di tahun yang sama BPS (Biro Pusat Statistik) Riau merilis data dengan 1, 49 juta hektare total luas perkebunan kelapa sawit di Riau.

Justru tiga tahun berikutnya (tahun 2011) angka itu merebak ke posisi 2,3 juta hektare.

Bayangkan, dalam kurun 3 tahun eskalasi lahan perkebunan sawit di Riau mencapai 800 ribu hektar.

Jika merujuk ke data tahun 2013 itu, dengan total luas perkebunan kelapa sawit Riau sekitar 2,3 juta hektere, itu artinya seperempat dari total perkebunan kelapa sawit Indonesia, ada di Riau.

Di atas kertas angka ini cukup menggiurkan bila ditilik dari komperasi jumlah penduduk Riau saat ini sekitar 5,5 juta jiwa.

Jika diasumsikan, satu KK terdiri dari 5 orang, berarti setiap KK penduduk Riau rata-rata memiliki 2,5 hektare kebun kelapa sawit. Fantastis, bukan? Sepintas, terkesan betapa sejahteranya, penduduk Riau selama ini.

Riau: “Di bawah minyak, di atas minyak” motto yang kita agung-agungkan sejak lama. Tetapi bisa konyol jika dipakai sebagai analisis.

Illustrasinya: dengan konsentrasi CPO sekitar 8,2 juta ton per tahun itu sama dengan setiap manusia Riau bisa bermandikan “hujan” CPO 2.500 liter atau sekitar setengah truk tangki setiap orang, setiap tahunnya.

Pertanyannya: berapa debet hujan yang dibutuhkan untuk membasuh bersih guyuran 2.500 liter minyak CPO di tubuh seorang manusia? Masalahnya, kini harga jual CPO benar-benar melorot.

Glamour roda perekonomian Riau dua dasa-warsa terakhir, tampaknya memang dilumasi komoditas kelapa sawit.

Anugerah yang kita cicipi dari era kejayaan ini. Sulit juga mendapatkan alibi untuk membantah keterlibatan suatu pihak.

Pihak yang tidak punya kebun sama sekali atau cukong, tuan takur atau konglomerat sawit berada pada siklus jaringan “per-sawit-an” ini.

“Jangankan satu hektare kebun, sebiji buah sawit pun aku tak punya. Tapi, lahan toke itu, dulunya warisan moyangku yang kujual murah,” kata seorang awam desa.

“Kami seketurunan tak punya kebun. Tetapi kami beruntung umumnya anak kami diterima jadi buruh di perusahan perkebunan,” kata yang lain menimpali.

Lantas, siapa di antara kita yang tidak bersentuhan dengan mata rantai per-sawit-an alias si Pembakar lahan? Toh, operasional negeri ini didanai hamparan emas hijau itu.

Padahal, dari segi kepemilikan kebun, fakta empirisnya lebih memprihatinkan. Konon sebagian besar masyarakat Riau, hanya menerima asap dari lahan sawit milik orang lain.

PTP Nusantara 5 contohnya, yang manjanjikan kehidupan ribuan buruh di atas hamparan kebun setara 78 ribu hektar.

Artinya, ternyata, sebagian besar kita hanya menjadi sapi perahan PBS (Perkebunan Besar Swasta) dan Kaum Kapitalis.

Jika para Kaum Borjuis ini membakar lahan guna memenuhi keserakahan mereka, kita terimalah itu dengan lapang dada.

Soalnya, sebagain besar kita juga hidup dari hasil sepak-terjang mereka. Sayangnya, semua pada tak berdaya, ketika bencana asap melanda. Terkapar.

Untuk diketahui saja, menurut BPS Riau, tahun ini jumlah masyarakat miskin Riau meningkat drastis, 31.500 jiwa. Tahun 2014 jumlah masyarakat miskin di Riau 499.890 jiwa menjadi 531.390 di tahun 2015. Ironis.

Era sepintas Gubernur Riau Anas Ma’amun lebih tragis. Bukan rakyat justru pengusaha yang lebih dulu diperhatikannya.

Sayangnya, baru sebatas memberi izin buat pengusaha untuk perluasan lahan kebun sawit di Kawasan Kuantan Sengingi, langkahnya dihentikan pula oleh KPK.

Era Gubri, Syamsuar, rakyat meminta tindakan nyata. Tanpa, melihat persoalan bencana asap, secara mendasar. Yang mengakar.

Pola yang terbangun selama ini, apa boleh buat, telah menjadikan sawit “berbuah” asap. Dan, Riau memang menangis. Pedih mata terpapar asap.

Bencana kabut asap, kali ini, terasa lebih awet. Kabut asap—sebagai polutan akibat tindakan pembakaran lahan—lebih kerasan mengisi ruang kehidupan. Asap bertahan di kurun sebulan.

Padahal, doa-doa sudah dirauf dari pekik tangis ribuan bayi dan wanita hamil. Tetapi, sepertinya tidak (lagi) didengar Tuhan.

Pun lantunan doa via salat istisqa seraya pekik-gemuruh teriak demonstran, penghujat kekuasaan. Penyumpah-serapah pengusaha pembakar lahan. Hujan deras tak kunjung turun.

Hujan buatan? “High-cost! Bisa bangkrut negeri ini!” celetuk penguasa regional. Suaranya gemetar kala bicara soal anggaran.

“Bayangkan, untuk sekadar menurunkan gerimis tipis di tepi kota Pekanbaru butuh Rp 9 miliar,” kilah seorang Journalist.

Pihak yang menjadikan bencana sebagai peluang juga berdoa. Tentu saja, doa mereka lebih menginspirasi kalangan sinis para facebooker:

“Penjual Masker Naik Haji!” Bisa jadi. Jika bencana kabut asap terus berlanjut, malah asap masuk ke kamar tidur Pak Haji.

Bukankah sikap kita adalah wujud doa paling makbul? Yang terjadi justru kontradiktif. Di satu sisi kita menghujat, di sisi lain kita memohon.

Kita, warga papa terus berjuang agar bencana segera berakhir. Sayangnya, sikap sebagian masyarakat plus sistem pengendali birokrasi, justru berpeluang menebar bencana.

Berkebun sawit, bukti dari sikap kita yang doyan dengan cara-cara instan mengejar target sukses ekonomi.

Hidup sarwamateri, yang melindas semua prosedural tata ramah lingkungan. Without border! Lantak saja.

Tak perduli hutan lindung, hutan gambut atau hutan kota. Biar lebih cepat dan praktis pakai paket hemat land clearing. Bakar saja!

Penguasa, atau pengusaha. Manusia kota atau warga pinggiran sama saja. Yang penting….”Bakar-membakar” memang bagian dari budaya kita.

Toh, konsekuensi pembakaran yah: asap! Nah, bencana kabut asap, mungkin hanyalah salah satu imbas keserakahan yang kita pertotonkan selama ini.

Tetapi, Tuhan tentu tidak bisa dikelabui. Penguasa alam tak pernah alpa menyimak keserakahan kita. Yang melumpuhkan fungsi alami hutan sebagai penyanggah alam.

Stabilisator alami wahana kehidupan segenap mahluk hidup, serta pengatur siklus turunnya hujan sebagai penyeimbang.

“Sudah berapa hektar kebun sawit Anda?!” Sepotong pertanyaan yang sering mengusik telinga masyarakat Riau. Lebih tepatnya, sebagai adagium alat ukur tingkat kesuskesan seseorang.

Mungkin lebih tepat menyebut, kesuksesan harus lahir dalam bentuk keadilan dan pemerataan.

Jika masyarakat Riau belum secara adil menikmati kekayaan kebun sawit selama ini, setidaknya pemerataan tidak hanya sebatas asap…. ***

 

Penulis: El Wahyudi Panggabean, 20 September 2019.


[Ikuti GardaPos.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar