Pendidikan

Hukum-Hukum Pengadilan

gbr.net

GARDAPOS.COM - Hukum yang dimaksud di sini ialah memisahkan atau mendamaikan dua pihak yang berselisih dengan hukum Allah swt.

Firman Allah swt.: "Hendaklah engkau menghukum antara mereka menurut peraturan yang diturunkan Allah." (Al-Maidah 49)

Firman Allah swt.: "Dan jika kamu menghukum antara manusia, hendaklah kamu hukum dengan seadil-adilnya." (An-Nisa': 58)

Sabda Rasulullah saw.: "Hakim-hakim itu ada tiga macam, semacam akan masuk surga, dua macam akan masuk neraka: (1) Hakim yang masuk surga ialah hakim yang mengetahui hak (hukum yang sebenarnya menurut hukum Allah), dan ia menghukum dengan yang hak itu, (2) Hakim yang mengetahui hak, tetapi ia menghukum dengan yang bukan hak, hakim ini akan masuk neraka. (3) Hakim yang menghukum sedang ia tidak mengetahui hukum Allah dalam perkara itu, hakim ini juga akan masuk neraka." (Riwayat Abu Dawud dan lainnya)

Sifat-sifat hakim (syarat-syaratnya)

Orang yang berhak menjabat pangkat hakim hanya orang yang memiliki sifat-sifat yang tersebut di bawah ini:
1. Islam, berarti yang menjadi hakim itu hendaknya orang Islam.
2. Balig (sedikitnya sudah berumur 15 tahun).
3. Berakal (bukan orang bodoh).
4. Merdeka (bukan hamba sahaya).
5. Adil.
6. Laki-laki.
7. Mengerti ayat Quran dan hadis sedikitnya yang bersangkut dengan hukum-hukum.
8. Mengetahui ijma' ulama dan perselisihan paham mereka.
9. Mengetahui bahasa Arab sekadar dapat memahami ayat dan hadis.
10. Pandai menjalankan qias.
11. Pendengaran dan penglihatannya cukup.
12. Sadar (bukan orang lalai).

Keterangan untuk syarat-syarat itu ialah ayat dan hadis di atas, dan:
Sabda Rasulullah saw.: "Tidak akan dapat kemenangan suatu kaum yang menguasakan urusan mereka kepada perempuan." (Riwayat Bukhari, Tirmidzi, dan Nasai)

Kata Hujjatul-Islam (Al-Ghazaly): Untuk mendapat orang yang mencukupi sifat-sifat (syarat-syarat) yang tersebut, sesungguhnya tak mudah didapat di masa kita ini. Maka oleh karenanya, hendaklah ditanfizkan juga hukum orang yang diangkat oleh kekuasaan Islam, walaupun tidak mencukupi syarat-syarat tersebut, karena terpaksa. Hanya hendaklah dipilih orang yang sebanyak-banyak sifat tersebut ada padanya.

Adab (Kesopanan) Hakim

Kedudukan (pangkat) hakim adalah suatu kedudukan yang mulia dan tinggi. Oleh karenanya hakim hendaklah mempunyai budi-pekerti yang sebaik-baiknya. Di antaranya budi-budi yang baik itu:
1. Hendaklah ia berkantor di tengah-tengah negeri, di tempat yang diketahui oleh segenap lapisan rakyat di wilayahnya.

2. Hendaklah ia samakan antara orang-orang yang berperkara dan tidak baik tempatnya, cara berbicara terhadap mereka, maupun perkataan (manis dan tidaknya). Pendek kata, hendaklah disamakan dalam segala cara kehormatan. Mengenai persamaan ini sebagian ulama mengatakan wajib sebagaimana yang ditashihkan dalam mazhab Syafi'i.

3. Hendaklah ia jangan memutuskan suatu hukum selama dia dalam keadaan seperti tersebut di bawah ini:
a. sewaktu sedang marah.
b. sedang sangat lapar atau haus.
c. sewaktu sangat susah atau sangat gembira.
d. sewaktu sakit.

Sabda Rasulullah saw.: "Janganlah hakim menghukum antara dua orang sewaktu dia sedang marah." (Riwayat jama'ah ahli hadis)

Dengan hadis tersebut ulama mengambil ukuran bahwa hakim hendaklah jangan memutuskan suatu persengketaan apabila terjadi pada dirinya sesuatu yang membimbangkan pikirannya, karena ditakuti akan mengakibatkan kurang keadilan.

4. Dia tidak boleh menerima pemberian dari rakyatnya kecuali orang yang memang biasa berhadiah kepadanya sebelum ia menjadi hakim, dan di waktu itu tidak dalam perkara. Larangan ini untuk menutup pintu sogokan.

Sabda Rasulullah saw.: "Dikutuk Allah orang yang menyogok dan orang yang menerima sogokan dalam hukum." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

5. Apabila telah duduk dua orang yang berperkara, hakim berhak menyuruh yang mendakwa untuk menerangkan dakwaannya. Sesudah selesai dakwa, hendaklah hakim menyuruh yang terdakwa pula untuk membela dirinya. Tidak boleh menanya yang terdakwa sebelum selesai pendakwaan yang mendakwa, dan tidak juga boleh bagi hakim menyumpah yang terdakwa selain sesudah diminta oleh yang mendakwa apabila ia tidak dapat mengajukan saksi,

6. Hakim tidak boleh menunjukkan kepada keduanya cara mendakwa dan membela.

7. Surat-surat hakim kepada hakim yang lain di luar wilayahnya, apabila surat itu berisi hukum, hendaklah dipersaksikan kepada dua orang saksi sehingga keduanya mengetahui isi surat itu.

Saksi

Orang yang mendakwa hendaklah mengemukakan saksi. Maka jika yang mendakwa mempunyai saksi yang cukup, dakwanya hendaklah diterima oleh hakim, berarti dia menang dalam perkaranya. Tetapi jika ia tidak dapat mengemukakan saksi, hakim hendaklah memberikan hak bersumpah kepada yang terdakwa, dan kalau dia sanggup bersumpah, dia mendapat kemenangan. Tetapi jika yang terdakwa tidak sanggup bersumpah, yang mendakwa berhak bersumpah; apabila ia bersumpah, ia dianggap menang. Sumpah yang mendakwa ini dinamakan dalam istilah ahli fiqh "sumpah mardud" (sumpah yang dikembalikan).

Firman Allah swt.: "Janganlah kamu menyembunyikan saksi. Barangsiapa yang menyembunyikannya, berdosalah hatinya." (Al-Baqarah: 283)

Sabda Rasulullah swt.: "Kalau manusia diberi dengan semata-mata dakwa mereka, sudah tentu manusia mendakwa jiwa beberapa laki-laki dan harta mereka, tetapi kewajiban yang mendakwa mengemukakan saksi, dan kewajiban yang terdakwa bersumpah." (Riwayat Bukhari dan Muslim).

"Bahwasanya Rasulullah saw. telah mengembalikan sumpah kepada
yang mendakwa." (Riwayat Baihaqi dan Daruquthni)

Kalau dua orang dakwa-mendakwa dengan tidak ada saksi, sedangkan barang di tangan salah satu dari keduanya, hendaklah dihukum dengan sumpah orang yang memegang barang. Tetapi kalau barang di tangan keduanya atau di tangan orang yang ketiga, hendaklah disumpah kedua-duanya, kemudian barang itu dibagi untuk keduanya (bagi dua).

Sifat-sifat Saksi

Orang yang menjadi saksi tidak diterima selain yang cukup mempunyai sifat-sifat di bawah ini:
1. Islam: orang yang tidak memeluk agama Islam tidak diterima menjadi saksi untuk orang Islam.

Sabda Rasulullah saw.: "Tidak diterima saksi pemeluk suatu agama terhadap yang bukan pemeluk agama mereka." (Riwayat Avd. Razzaq).

2. Balig: (sedikitnya umur 15 tahun): anak-anak yang belum sampai
umur, tidak diterima menjadi saksi.
Firman Allah swt.: "Persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu." (Al-Baqarah: 282).
Menurut bahasa Arab, anak kecil tidak dinamakan rijal (laki-laki).

3. Berakal: karena orang yang tidak berakal sudah tentu tidak dapat
dipercayai.

4. Merdeka: hamba sahaya tidak diterima menjadi saksi karena saksi diserahi kekuasaan, sedangkan hamba tidak dapat diserahi kekuasaan.

5. Adil.
Firman Allah swt.: "Hendaklah kamu persaksikan yang demikian kepada dua orang saksi yang adil di antaramu." (At-Thalaq: 2).
Orang yang adil ialah yang memiliki sifat-sifat:
a. Menjauhi segala dosa besar, tidak terus-menerus mengerjakan dosa kecil.
b. Baik hati.
c. Dapat dipercayai sewaktu marah, tidak akan melanggar kesopanan.
d. Menjaga kehormatannya sebagaimana kehormatan orang yang
setingkatan dengan dia.

6. Bukan musuh terdakwa, dan bukan anak atau bapaknya.

Beberapa Hak

Hak ada yang bersangkutan dengan Allah semata-mata, dan ada yang
bersangkutan dengan manusia.

Hak Allah
1. Hak (hukuman) terhadap orang yang berzina. Saksi untuk menjalankan hukum zina tidak diterima selain apabila sampai empat orang laki-laki.

Firman Allah swt.: "Di antara perempuan-perempuan yang berbuat keji (berzina), maka untuk menjadi saksi atas perbuatan mereka, ialah empat saksi laki-laki dari kamu." (An-Nisa': 15),

2. Hukuman karena Minum arak, merampok, riddah, dan sebagainya,
ini diterima dengan dua orang saksi laki-laki. Keterangan: surat At-Thalâq ayat 2 yang disebut di atas.

3. Diterima saksi seorang laki-laki saja, yaitu saksi untuk melihat bulan Ramadhan.

Hak-hak Manusia
1. Hak yang bersangkutan dengan harta, atau tujuannya harta, seperti utang-piutang, jual-beli, rampasan, dan sebagainya. Hak ini diterima dengan dua saksi laki-laki, satu laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi laki-laki dan sumpah yang mendakwa.

Firman Allah swt.: "Persaksikanlah olehmu dua orang saksi laki-laki di antara kamu; sekiranya dua orang laki-laki tidak ada, cukuplah seorang
laki-laki dan dua orang perempuan." (Al-Baqarah: 282).

"Sesungguhnya Rasulullah saw. telah menghukum dengan seorang saksi laki-laki dan dengan sumpah." (Riwayat Muslim).

2. Hak yang bukan harta, dan tidak bertujuan pada harta, sedang hal
itu biasanya dapat dilihat oleh laki-laki, seperti perkawinan, perceraian, habisnya iddah, thalaq tebus, berwakil, berwasiat, mati, dan sebagainya. Saksi di sini tidak diterima selain dua orang saksi
laki-laki.

3. Sesuatu yang biasanya tidak dilihat oleh laki-laki, hanya yang biasanya dilihat oleh perempuan, seperti beranak, menyusukan, haidh, cacat perempuan, gadis atau tidaknya, dan lain-lainnya. Disini tidak diterima menjadi saksi selain empat orang perempuan.

Disyaratkan pula untuk menjadi saksi itu tidak ada tuhmah (sangkaan yang tidak baik). Maka oleh karenanya orang yang menjadi saksi guna menarik keuntungan untuk dirinya sendiri, atau menghindarkan kecelakaannya, saksi semacam ini tidak diterima.

Memerdekakan Hamba Sahaya

Memerdekakan ialah melepaskan hamba sahaya dari sifat kehambaan. Apabila hamba sahaya sudah dimerdekakan, ia mempunyai hak yang sempurna dan kewajiban yang penuh seperti orang merdeka yang lainnya.

Memerdekakan hamba sahaya sangat diingini dan dianjurkan oleh agama Islam.

Pangkal ayat, sesalan Allah kepada manusia karena Allah telah menunjukkan kepada mereka dua jalan (jalan kebaikan dan kejahatan), tetapi mereka tidak suka menjalani jalan kebaikan yang susah payah. Di antara pekerjaan yang susah payah, tetapi baik ialah:

Firman Allah swt.: "Memerdekakan hamba sahaya." (Al-Balad: 13)

Sabda Rasulullah saw.: "Barangsiapa memerdekakan hamba sahaya, maka Allah akan melepaskan tiap-tiap anggotanya dari api neraka sebilangan anggota hamba yang dimerdekakannya." (Riwayat Muslim)

Orang yang memerdekakan hamba sahaya itu dianggap sebagai keluarga
dari hamba yang sudah dimerdekakannya, dia dapat menjadi walinya kalau yang dimerdekakan tidak mempunyai wali dari keluarganya yang seturunan, dia mendapat pusaka kalau tidak ada waris dari pihak turunan kekeluargaan. Ini turun-temurun kepada laki-laki dari keluarga yang memerdekakan.

Itulah sedikit keterangan yang bersangkutan dengan hamba sahaya.
Kita singkatkan saja karena menurut pendapat beberapa ulama, sekarang tidak ada lagi seorang pun yang bersifat hamba yang sah.


[Ikuti GardaPos.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar