Rebutan lahan antara PSJ dan NWR itu ibarat pertarungan antar naga, kedua perusahaan ini diketahui sama kuatnya. Jika memang benar begitu adanya, maka konflik tersebut tergolong buruk dan akan terus memburuk. Pantas diibaratkan seperti itu karena kedua “pemain” sudah memegang kartu truf-nya masing-masing.
Bisa kita lihat lebih dekat, saat ini PSJ berdiri di belakang masyarakat yang mengaku sudah menguasai lahan ini sejak 23 tahun silam, dan ternyata PT NWR juga tidak kalah terkenal, buktinya perusahaan ini sudah kantongi nomor punggung sebagai anak perusahaan APRIL Group.
Nah, ketika kedua kartu truf itu dilemparkan, pemerintah sebagai wasit akan kebingungan untuk menentukan pilihan, memang sulit saat dihadapkan antara menegakkan aturan yang sudah ditetapkan atau mempertaruhkan hajat hidup orang banyak yang selama puluhan tahun menggantungkan ekonominya di kebun sawit.
Skenario tersebut sepertinya sudah dirancang dengan sedemikian rupa oleh kedua perusahaan yang sedang berselisih.
Akan tetapi keduanya tidak boleh lupa dengan Pasal 33 (3) UUD 1945 yang berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Seperti halnya NWR yang saat ini dimenangkan MA tidak boleh larut dalam kemenangannya, sebab masyarakat tempatan juga memiliki hak yang harus dipenuhi. Jangan sampai masyarakat menjadi cacing yang berada diantara pertarungan dua naga besar. Alhasil cacing lah yang akan menjadi korban.
Gambaran diatas merupakan salah satu kenyataan yang sedang terjadi dalam konflik atau disebut perang dingin antara NWR dan PSJ, masyarakat dipaksa dan diseret untuk ikut dalam pertarungan alot ini.
Sebetulnya, jika pemerintah ingin menyelesaikan konflik yang menyeret masyarakat ke tengah perseteruan itu bisa dilakukan, hanya saja membutuhkan cara yang cukup panjang. Apa itu?
Hal yang pertama perlu dilakukan adalah melakukan Audit tentang KKPA yang dibentuk oleh PT PSJ, sebab belakangan ada suara sumbang yang mengatakan bahwa keanggotaan itu tidak mencakup kepentingan seluruh masyarakat tempatan.
Salah satu contoh, saat lahan yang diperebutkan itu kosong setelah ditinggalkan PT Siak Raya Timber, dikabarkan juga ada oknum camat langgam yang memanfaatkan lahan tersebut dengan membuatkan SKGR, sementara lahan itu belum beralih fungsi dan itu sudah jelas melanggar hukum.
Saat pemerintah sudah mengetahui siapa saja anggota KKPA, jika ternyata tidak mengakomodir kepentingan masyarakat pribumi atau tempatan, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang berjuang saat ini hanyalah bentukan PSJ semata dan itu sudah jelas melanggar hukum.
Namun, apabila KKPA yang mengelola lahan hampir 1.400 Ha kebun sawit itu memang teruntuk pribumi dan warga tempatan, maka pemerintah bisa saja mengambil keputusan untuk tidak mengeksekusi lahan KKPA tersebut. Sisanya silahkan diberikan pada NWR karena memang lahan inti kebun sawit PSJ yang berada di luar HGU.
Toh selanjutnya pemerintah pusat bisa mengembalikan peruntukan lahan itu menjadi lahan perkebunan demi hajat hidup orang banyak. Langkah ini tidak akan sulit bagi pemerintah, sebab sudah pernah terjadi ketika pemerintah mengalihfungsikan lahan gambut lindung menjadi hutan produksi tetap sekitar 150 ribu hektare.
Langkah tersebut ibarat pepatah minang dalam menyelesaikan persoalan yang sulit, "Mengambil rambut dalam tepung, tepung tidak berserakan, rambut didapat, tangan yang mengambil tidak berlumuran tepung". Seperti itulah kira-kira.
Langkah itu layak untuk dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan antar perusahaan besar, gunanya agar masyarakat tidak menjadi korban dalam perselisihan tersebut.[*]
Pangkalan Kerinci, 28 Januari 2020.
Ditulis oleh: J. Piliang, Praktisi Jurnalis Pelalawan, Riau.
Tulis Komentar