GARDAPOS.COM, JAKARTA - Beberapa pekan terakhir ini wacana publik tentang tindak pidana korupsi yang terjadi di Kementerian Pertanian (Mentan) kita yang diduga melibatkan sejumlah pejabat di kementerian tersebut, termasuk nama menteri SYL disebut-sebut. Namun, tidak lama berselang, muncul pengaduan ke Polda Metro Jaya dugaan adanya pemerasan terhadap SYL yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Tentu kedua isu ini menarik perhatian dan pertanyaan publik yang sangat kritikal, mana yang diutamakan penangananya, sehingga satu dengan yang lain tidak menjadi tirai penutup antara dugaan korupsi dengan dugaan pemerasan.
Untuk itu, Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) yang didirikan oleh Emrus Sihombing menyelenggarakan Diskusi Publik, Sabtu (28/10/2023) di Kawasan Setiabudi, Jakarta dengan menghadirkan tiga narasumber yaitu, Romli Atmasasmita, guru besar hukum Universitas Padjajaran, Emrus Sihombing, komunikolog Indonesia dan Agus Surono, guru besar Universitas Pancasila.
Romli Atmasasmita dan Emrus Sihombing mengatakan, penanganan korupsi harus diutamakan daripada kasus pemerasan. Sebab, korupsi sebagai tindakan yang mengambil uang rakyat (publik). Selain itu, menurut Romli dan Emrus, perbuatan tindak pidana korupsi tetap termasuk extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Di sisi lain, pemerasan merupakan perbuatan dugaan tindak pidana yang melibatkan “relasi” antar pribadi atau kelompok, tidak terkait dengan uang rakyat.
Pandangan yang senada pada diskusi publik tersebut dikemukakan Agus Sarono. Ia menyarankan, laporan dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK yang saat ini ditangani oleh penyidik pidsus Polda Metro Jaya, tidak mempengaruhi penanganan perkara korupsi yang terjadi di Kementan oleh KPK.
“Sehubungan dengan adanya proses hukum terkait adanya dugaan laporan pemerasan oleh pimpinan KPK yang saat ini ditangani oleh penyidik pidsus Polda Metro Jaya, maka bagaimanakah seharusnya proses penegakan hukum dalam perkara dugaan pemerasan tersebut agar tidak mempengaruhi penanganan perkara korupsi yang terjadi di Kementan oleh KPK, setelah adanya penggeledahan di rumah Ketua KPK”, demikian Agus Surono menjelaskan.
Pada kesempatan yang sama, Romli Atmasasmita menghimbau agar Kapolri menghentikan sementara kasus pemerasan agar penanganan kasus korupsi dapat dituntaskan lebih dahulu. “Ini saya himba juga sekarang pada kesempatan ini, Kapolri hentikan itu. Pemerasan hentikan. UU mengatakan perkara Korupsi didahulukan, jelas di undang-undang korupsi. Yang memerintahkan UU, harus lebih dahulu. Yang lain belakangan. Kalau bersama-sama, ada ceritanya itu. Di UU itu jelas, Kalau KPK sudah duluan, berhenti Polisi.”
Sejalan dengan Romli Atmasasmita, Agus Surono menegaskan, proses hukum terkait dugaan laporan pemerasan dilakukan pimpinan KPK dan sedang ditangani penyidik pidsus Polda Metro Jaya, sebaiknya tidak mempengaruhi penanganan perkara korupsi yang terjadi di Kementan oleh KPK.
Pada diskusi publik tersebut, Emrus Sihombing menyoroti relasi politik dan hukum. Antara fenomena hukum dan politik tidak akan pernah berdiri sendiri, pasti terjadi hubungan saling pengaruh (prosesual). Artinya, demikian Emrus Sihombing melanjutkan, secara sosiologis pelaporan dugaan pemerasan tidak bisa lepas begitu saja dari dugaan tindak pidana korupsi yang terlebih dahulu diproses. “Sebab, tidak ada fenomena sosial itu terjadi imparsial, atau berdiri sendiri, tidak berada di ruang hampa. Semua saling terkait. Keterkaitan itu biasanya selalu mengemukan di territorial komunikasi privat (panggung belakan).
Oleh karena itu, Emrus Sihombing berhipotesa, kasus dugaan korupsi dan pemerasan sangat berpotensi “dimanfaatkan” aktor individu atau kolektif tertentu yang boleh jadi menyebut atas dasar penegakan hukum berkeadilan dan persamaan di depan hukum. Tetapi jika kita secara jernih melihat persoalan dugaan kasus korupsi dan pemerasan, kasus korupsi harus diutamakan.
Sebab, Emrus Sihombing melihat dari runutan waktu muncul kepermukaan. “Wacana persoalan korupsi mengemuka lebih awal baru kemudian muncul persoalan pemerasan. Nah justru sekarang yang menonjol persoalan agenda publik bergeser ke pemerasan tidak fokus kepada persoalan korupsi yang dilakukan dan bahkan seolah-olah hilang agenda itu diruang publik, termasuk tentang ditemukan sejumlah senjata” ujarnya.
Karena itu, wacana publik digunakan dengan mengangkat suatu isu tertentu sebagai tirai untuk menutup suatu kasus tertentu. Oleh karena itu, publik harus kritikal melihat “relasi” penangan dugaan kasus korupsi dan dugaan pemerasan.
Penulis: Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia.
Tulis Komentar