Politik

Catatan Pinggir Pilkada Rohul 2020

Gbr. Ilustrasi.net

Oleh: Hary Effendi

 

GARDAPOS.COM, ROKAN HULU - Kontestasi pada Pemilu 2020 ini banyak menyita perhatian kita. Kontestasi yang dimulai pada Oktober 2020 hingga 09 Desember 2020 kemarin tentunya menyita waktu, tenaga maupun pikiran. Baik itu dilakukan oleh para kontestan maupun pendukung paslon. Proses kontestasi kemarin yang sudah berlangsung sampai dengan penyelesaian perselisihan hasil “suara” pilkada di Mahkamah Konstusi secara keseluruhan adalah ujian. Nilai 
sesungguhnya tidak pada menang atau kalah dalam kontestasi itu. Tetapi justru ada pada bagaimana semua pihak yang terlibat bisa bijak menyikapinya.

Menang hanya akan memiliki value atau nilai jika disikapi dengan tawadhu’ dan rasa syukur. Dan kekalahan akan menjadi nilai/value jika disikapi dengan sabar, introspeksi dan menerima keputusannya. Apalagi dalam Ammar putusan MK
bersifat Final/finish dan mengikat.

Menang atau Kalah dalam kontestasi pilkada termasuk dalam ranah value yang lebih besar, yaitu langit dan bumi serta segala isinya berada pada hak prerogatif Allah. Dialah yang memberi dan mengambil segala sesuatunya. Karena Dialah yang memiliki segalanya. Termasuk di dalamnya kekuasaan. “... Dan Engkau mengambil kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau 
muliakan siapa yang Engkau kehendaki... Sungguh Engkau berkuasa atas segala hal”.

Kegagalan atau kekalahan bukan berarti berhenti mengabdikan diri pada masyarakat. Sehingga kegagalan dalam pilkada tidak dipandang sebagai suatu momok yang berakhir dengan frustasi. 
Dalam politik, dipastikan ada kalah dan menang, sehingga semua pihak patut menyadari bahwa kekuasaan dalam politik itu bukanlah segala-galanya. 

Kalah dan menang hanyalah persepsi dari sebuah hasil akhir. Ketika nilai-nilai sportifitas dan etika hidup di dalam jiwa kita junjung tinggi, maka dalam diri kita akan mengandung kekuatan untuk menerima kalah dan menang dengan penuh tanggung jawab dan legowo. Ini yang harus juga menjadikan tambahan ilmu kita, bahwa kemenangan tidak selalu dilihat pada akhirnya. Tapi pada niat dan prosesnya. Jika niatnya benar, lalu diproses secara benar pula dan penuh tanggung jawab, apapun hasil akhirnya itulah kemenangan.

Keputusan Allah pada akhirnya itu yang terbaik dan sekaligus bernilai kemenangan. Berbagai dugaan kurang obyektif lembaga/institusi penyelenggara pemilukada, bahkan dugaan keterlibatan jajaran struktural petahana, mobilisasi pemilih, money politik, semestinya menjadi bahan koreksi untuk segera perlu pembenahan, meskipun tidak semudah membalik telapak tangan. Perlunya perhatian yang lebih pada aspek kredibilitas, kapabilitas dan integritas harus menjadi standar mutlak 'rekruitment' personal penyelenggara dalam lembaga/institusi pemilukada. Bukan karena titipan, perkoncoan, atau pembagian jatah-jatah kursi. Perlunya rumusan yang mampu menjamin jika kelembagaan penyelenggara pemilu adalah orang-orang terpilih dan terpercaya karena memiliki kemandirian, integritas, dan kredibilitas. Jika aspek-aspek itu terpenuhi tentu
masyarakat tidak meragukan dan memandang sebelah mata kemandirian, integritas, serta kredibilitas kelembagaan penyelenggara pemilu.

Meskipun masih ada persoalan atau kelemahan dari kelembagaan penyelenggara pemilu yang mendesak untuk diperbaiki yaitu terkait sumber daya manusia (SDM) yang profesional. SDM yang profesional dicirikan dengan memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan 
pengalaman dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai penyelenggara pemilu.

Sebagaimana disebutkan bahwa dari data DKPP dari Januari hingga 4 Desember 2020 yang terbukti melanggar kode etik. Pelanggaran terbanyak pada prinsip-prinsip profesionalitas. Aspek Kemandirian tergaransi, tetapi ada kelemahan yakni belum didukung oleh SDM yang profesional. DKPP telah menerima 415 pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP). Dari seluruh aduan tersebut, hanya 184 yang memenuhi syarat menjadi perkara dan disidangkan DKPP.

“101 perkara di antaranya sudah dibacakan putusannya,” dan 101 perkara yang telah diputus ini melibatkan 409 penyelenggara yang duduk di bangku Teradu dalam sidang DKPP. Etika dan moralitas pelaku kontestasipun semestinya dikedepankan. Sehingga definisi “Politik” tidak selalu melulu “Menghalalkan segala Cara” dengan selalu berlindung di antara balutan indah kata/konsep faham pragmatis dan dinamis politis.

Harapannya ialah politik dapat dimaknai sebagai etika untuk mengatur kekuasaan dan bukan cara untuk berkuasa. Dalam posisi yang sama semua politisi hendaknya memilki “common ground” (pijakan yang sama) dalam berpolitik, yaitu adalah mewujudkan daerah yang damai, adil dan sejahtera. “Baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur”.

Demikian tulisan ini sebagai sumbangsih pemikiran bagi kita semua, khususnya untuk mereka yang terlibat langsung di kontestasi pilkada kali ini. Baik untuk para kandidat, tim relawan, maupun para pendukungnya. Penyelenggaraan pilkada dapat berlangsung secara obyektif, adil, netral, transparan, serta independen sehingga mampu melahirkan pemimpin daerah yang terbaik. Tertanamnya komitmen politik pilkada yang dewasa dari elit politik akan dapat mendidik masyarakat semakin cerdas berpolitik. Untuk itu peranserta segenap stakeholder menyukseskan terselenggaranya pilkada bagian dari membangun jiwa siap kalah dan siap menang secara terhormat.

Kemenangan adalah bagian dari penghargaan publik atas kepercayaan yang diberikan, untuk dapat merealisasikan janji kampanye secara utuh. Sementara kekalahan adalah bagian dari perjuangan yang belum maksimal mampu menggugah masyarakat dalam memberikan kepercayaan secara utuh. Untuk itu menyikapi kemenangan dan kekalahan dalam kompetisi politik pilkada harus dapat diletakan dalam membangun peradaban politik masyarakat 
lebih dewasa. Bahwa nawaitu perbaikan dari hulu sampai hilir layak untuk menjadi menu santapan diantara segelas ngopi diskusi tentang perbaikan 
dimasa yang akan datang. Kepada Allah tempat berserah diri.[]


[Ikuti GardaPos.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar