Politik

Simpati Terhadap Jargon, Tagline, Nama Akronim dan Diksi Tergantung Wawasan Pemilih

gbr.net

GARDAPOS.COM, PELALAWAN - Pilkada Serentak bakal digelar 9 Desember 2020. Jargon, tagline, nama akronim dan diksi-diksi gencar disosialisasikan pasangan calon (paslon) di masa kampanye. Kendati begitu, kampanye model ini belum tentu menarik simpati pemilih.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Dr. Emrus Sihombing mengatakan, efektivitas jargon, tagline, nama akronim dan diksi sangat tergantung pada tingkat wawasan pemilih.

“Semua itu sangat tergantung masyarakatnya. Mereka sudah berwawasan luas atau belum,” ujarnya.

Wawasan yang dimaksud Emrus adalah, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap sebuah isu, tingkat literasi hingga tingkat interaksi masyarakat satu dengan masyarakat di daerah lain.

Di masyarakat dengan tingkat wawasan rendah, cara kampanye yang menonjolkan jargon, tagline, nama akronim atau diksi, bisa efektif dalam menarik simpati pemilih.

Pasalnya, masyarakat dengan wawasan rendah umumnya akan tergiur dengan permainan kata yang dibuat paslon. Sedangkan di masyarakat dengan tingkat wawasan tinggi, lanjut Emrus, jargon, tagline, nama akronim dan diksi tidak akan efektif.

Sebab, para pemilih lebih memperhatikan program, visi, misi dan latar belakang kandidat. Meski jargon atau diksi yang dipakai para paslon di setiap pemilu sah-sah saja, asalkan memang mengedukasi masyarakat.

“Misalnya, dalam jargon atau diksi itu dipaparkan pula program paslon termasuk tolok ukurnya,” ujarnya.

Kemudian pengamat politik dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Max Rembang mengatakan, di era pendidikan semakin maju biasanya paslon lebih mudah diterima karena beberapa hal.

Di tataran pemilih rasional, paslon biasanya diterima karena visi dan misi. Penyebabnya, para pemilih biasanya memiliki latar belakang pendidikan tinggi.

“Mereka bisa mengkritisi visi dan misi para paslon termasuk kinerja petahana. Dengan latar belakang pendidikan yang tinggi mereka bisa bisa memilah mana yang baik dan benar,” ujarnya.

Sedangkan pemilih tradisional, rata-rata memilih paslon berdasarkan partai. Pemilih jenis ini tidak akan memusingkan siapa calon yang maju karena hanya memperhatikan calon tersebut dari partai mana.

Tapi, menurut Max, presentase tertinggi ada pada pemilih pragmatis. “Pemilih pragmatis ini biasanya melihat apa yang ditawarkan calon. Kalau sesuai dengan kepentinganya ya akan dipilih,” tandasnya. [SSL]

 

Artikel ini telah tayang di rakyat merdeka.co.id dengan judul "Di Kalangan Pemilih Rasional Jargon Dan Tagline Tak Laku"


[Ikuti GardaPos.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar