OPINI Belalang Kampung

Adakah Terorisme Di Kabut Asap?

GARDAPOS.COM, RIAU - Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) di Riau sudah berumur satu bulan lebih. Tetapi tanda-tanda kabut asap hilang juga belum terlihat. Walaupun pemadaman tetap dilakukan, bahkan tim gabungan dari berbagai institusi publik sudah melakukan berbagai cara. Tetapi kabut asap tetap saja melanda.

Ditengah usaha-usaha pemadaman langsung yang dilakukan, tidak luput do'a juga sudah dilakukan, yakni do'a meminta hujan. Akan tetapi hujan yang diharapkan dan ditunggu untuk memadamkan api juga belum hadir atau hadir tetapi tidak seperti yang diharapkan oleh mereka-mereka yang merusak gambut dengan dalih investasi dan telah berizin.

Belalang Kampung mencoba mengulas karhutla ini dalam perspektif lain, dimana pertanyaannya adalah, adakah teroris kabut asap di kabut asap?

Kabut asap yang terjadi di Indonesia khususnya di Riau ini bukanlah hanya terjadi di tahun 2019 ini saja, publik sudah tahu bahkan setiap tahun terjadi, hanya saja intensitas kabut asapnya saja berbeda. Kabut asap yang terjadi di Riau yang tampak diakibatkan secara kasatmata ya karena karhutla.

Karhutla dituduh sebagai biang kabut asap. Namun, karhutla ini sebenarnya bisa dicegah cepat apabila air dalam tanah tetap terawat. Hanya saja air dalam tanah sangat kurang dan berkurang drastis karena pemakaian gambut yang begitu ugal-ugalan untuk membuka lahan perkebunan dan HTI (hutan tanaman industri).

Publik mestinya tahu, setidaknya ada empat dampak dari penggunaan gambut secara berlebihan, dan menurut pantauan gambut:

1. Banjir: Karena daya serap dan daya tampungnya yang tinggi, gambut berfungsi mencegah terjadinya banjir pada musim hujan dan melepaskan air di musim kemarau. Selain itu, gambut juga berperan penting dalam mencegah intrusi air laut ke daratan. Gambut memiliki kemampuan untuk menjadi cadangan air tawar sehingga dapat berfungsi sebagai pencegah banjir pada musim hujan dan melepaskan air pada musim kemarau, juga mencegah intrusi air laut ke daratan.

Persebaran yang luas membuat gambut dapat menjaga keseimbangan hidrologis dalam area yang dikenal sebagai Kawasan Hidrologis Gambut (KHG). Ibarat anggota tubuh yang saling terhubung, gangguan di satu bagian KHG dapat berdampak pada bagian KHG lainnya. Nah, Dampak yang sering terjadi jika fungsi hidrologis gambut hilang adalah terjadinya banjir di atas lahan gambut atau daerah aliran sungai yang dapat mengancam keberlangsungan pertanian masyarakat sekitar.

2. Kebakaran hutan: Potensi kebakaran di lahan gambut dapat menjadi semakin besar jika terjadi pengeringan. Hal ini disebabkan oleh fungsi penyerapan air pada gambut yang sangat kering akan sulit dilakukan karena gambut sudah tidak berfungsi sebagai tanah dan sifatnya sama seperti kayu kering. Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang sengaja melakukan pembakaran maupun akibat kelalaian dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran, seperti gejala El Nino kondisi fisik gambut yang terdegradasi, dan rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Pengeringan gambut berdampak pada tingkat kebakaran yang tinggi makanya fungsi penyerapan air pada gambut yang sangat kering akan sulit dilakukan karena dalam keadaan tersebut, gambut sudah tidak berfungsi sebagai tanah dan sifatnya sama seperti kayu kering.

Sementara itu, ketika kadar air menyusut di musim kemarau, kegiatan pengeringan gambut yang dilakukan oleh manusia meningkatkan potensi kebakaran di atas lahan gambut. Dalam kondisi seperti itu, api akan membakar bahan-bahan yang ada di atas permukaan lahan seperti pepohonan, semak, dan lain-lain.

Selanjutnya, api tersebut menyebar secara tidak menentu ke bawah permukaan, baik secara vertikal maupun horizontal, dan membakar materi organik melalui pori-pori gambut. Gambut yang terbakar akan menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Api yang menjalar ke bawah permukaan tanah menyebabkan pembakaran yang tidak menyala sehingga hanya asap putih yang tampak di atas permukaan. Hal inilah yang menyebabkan kegiatan pemadaman kerap sulit dilakukan.

3. Pencemaran tanah: Pengeringan dan dekomposisi gambut dapat menyebabkan lapisan tanah gambut menjadi lebih tipis. Selain fungsi hidrologis yang hilang, saat ini sebagian besar dari bekas kawasan gambut tersebut menjadi lahan sulfat masam terlantar dan menjadi sumber pencemaran lingkungan perairan di daerah tersebut.

4. Terganggunya aktivitas sehari-hari: Kerusakan lahan gambut tidak hanya berakibat pada terjadinya kebakaran lahan, banjir, dan pencemaran tanah, tetapi juga berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. Akibat lahan gambut yang rusak, masyarakat kesulitan memperoleh sumber pangan dan mata pencaharian yang sebelumnya mereka kerjakan. Kerusakan lahan gambut menyebabkan dampak yang nyata seperti kebakaran, banjir, dan pencemaran tanah. Namun, lebih jauh lagi, pengaruh negatif kejadian-kejadian tersebut merambat pada kehidupan masyarakat.

Contohnya, saat terjadi kebakaran hebat pada tahun 2015, jarak pandang menurun secara drastis karena asap sehingga banyak bandara yang ditutup sementara. Selain itu, banyak juga sekolah yang ditutup demi keselamatan siswa-siswanya. Asap kebakaran juga menghambat warga dalam memulai aktivitas pekerjaannya. Warga yang lahan pertaniannya ikut terbakar hanya bisa berpangku tangan karena hasil kerja kerasnya lenyap sia-sia. Begitu pula warga yang lahannya terendam banjir mengalami gagal panen. Kejadian kebakaran tahun
2015 diperkirakan menyebabkan kerugian negara sebesar 200 triliun rupiah.

Lantas dari dampak kerusakan gambut tersebut, dapatkah perusahaan atau perorangan yang memakai/menggunakan lahan gambut secara berlebihan tanpa memperhatikan prinsip lingkungan dapat dikatakan sebagai terorisme?

Terorisme menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme adalah terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Nah, dari defenisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme ternyata perbuatan yang merusak lingkungan hidup juga termasuk perbuatan terorisme.

Terus menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah perusakan gambut secara berlebihan termasuk ke dalam menggunakan ancaman kekerasan dengan mengganggu keamanan. Menurut belalang kampung, kabut asap ini sudah merupakan ancaman kekerasan dan mengganggu keamanan, karena sudah banyak korban ISPA, sekolah terganggu, aktivitas perekonomian terganggu, hanya saja harus menggunakan tafsir secara ekstensif. Karena itu, menurut belalang kampung, kabut asap di Riau ini sudah termasuk kategori perbuatan terorisme.***


Penulis: Belalang Kampung, 26 Agustus 2019.


[Ikuti GardaPos.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar