OPINI Belalang Kampung

Beramai-ramai Mengutuk Kabut Asap dan Korupsi

GARDAPOS.COM, RIAU - Warga riau yang “Belalang kampung” hormati dan banggakan. Persoalan kabut asap di Riau tidak pernah selesai dan bahkan menjadi kegiatan rutin tahunan, hanya saja intensitas kabut asap yang berbeda. Apa yang menjadi penyebab, mengapa kabut asap ini tidak pernah berhenti.

Penyebab utama dari kabut asap tidak lain karena penegakan hukum yang tidak tegas serta tidak seriusnya kita dalam menjaga prinsip-prinsip lingkungan hidup yang berkelanjutan. Salah satu dari prinsip penegakan hukum yang paling penting adalah menjaga penegakan hukum itu berlaku adil terhadap siapapun yang melanggar. Warga riau sampai saat ini memandang bahwa kabut asap diakibatkan karena persoalan penegakan hukum yang tidak pernah selesai bahkan terkesan pilih tebang. Hal ini sangat wajar, mengingat ada 15 perusahaan yang diberhentikan penyidikannya oleh Polda Riau.

Adapun 15 perusahaan dimaksud adalah PT Bina Duta Laksamana (HTI), PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia (HTI), PT Ruas Utama Jaya (HTI), PT Suntara Gajah Pati (HTI), PT Dexter Perkasa Industri (HTI), PT Siak Raya Timber (HTI), PT Sumatera Riang Lestari (HTI) dan PT Bukit Raya Pelalawan (HTI), PT Hutani Sola Lestari (HTI), KUD Bina Jaya Langgam (HTI), PT Rimba Lazuardi (HTI), PT Parawira (Perkebunan), PT Alam Sari Lestari (Perkebunan), PT Pan United (HTI) dan PT Riau Jaya Utama (Perkebunan).

Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Riau Kombes Pol Rivai Sinambela, mengatakan penyidikan terhadap 15 perusahaan itu sudah dilakukan secara maksimal. Hanya saja, penyidik belum menemukan bukti kuat dan tidak mau memaksakan penyelidikan kasus tersebut. Penyidik tidak mau memaksa kalau memang tak ada bukti. Nanti kalau dipaksakan bisa bebas lagi di pengadilan, seperti PT Langgam.

Sementara itu, Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus (Wadirkrimsus) Polda Riau AKBP Ari Rachman Navarin, SIK juga menyebut penyelidikan lahan terbakar di perusahaan sudah dicek langsung oleh UKP-4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Hasilnya, UKP-4 menyatakan sejumlah perusahaan yang tengah diusut Polda karena diduga sengaja membakar lahan telah memiliki sarana dan prasarana dalam penanggulangan kebakaran yang terjadi pada tahun 2015. Penyidik juga sudah memeriksa saksi dan sejumlah bukti. Kemudian saksi ahli pernah juga didatangkan dan menyatakan tidak terpenuhi unsur pidana. Dengan penjelasan tersebut, Ditreskrimsus Polda Riau melakukan gelar perkara dan menyatakan tidak cukup sehingga dikeluarkan SP3. "Penyidik tidak mau memaksa kalau memang tak ada bukti. Nanti kalau dipaksakan bisa bebas lagi di pengadilan, seperti satu perusahaan itu (PT Langgam Inti Hibrindo).

Penulis sendiri tidak sependapat apa yang dikatakan oleh polda riau, karena ada prinsip hukum yang bisa digunakan, yaitu prinsip “settlor”. Prinsip ini mengatakan bahwa “setiap orang harus menjadi bapak yang baik terhadap harta bendanya”. Artinya setiap kebakaran yang terjadi diwilayah perkebunan menjadi tanggungjawab pemilik kebun, kecuali pemilik kebun dapat membuktikan bahwa kebakaran di wilayah perkebunan itu disebabkan oleh perbuatan orang lain secara melawan hukum. Persoalan nanti takut bebas di pengadilan itu bukan menjadi tanggungjawab penyidik, ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab jaksa untuk membuktikan sekuat tenaga bahwa perusahaan-perusahaan tersebut layak dimintai pertanggungjawaban pidana, serta hakim juga jangan terlalu kaku memandang hukum, pandanglah hukum dari hati nurai baru dicarikan hukumnya untuk menghukum pembuat kabut asap ini.

Sekarang pada tahun 2019 kabut asap terjadi lagi, ini sebenarnya kesempatan emas polda riau untuk membuka kembali SP3 15 perusahaan. Karena memang secara hukum SP3 itu bukan “barang haram” untuk dibuka kembali. Namun tanda-tanda ini belum terlihat atau mungkin tidak diberitahu ke publik SP3 ini akan dibuka atau tetap disimpan yang akan menjadi sejarah yang diingat oleh warga riau.

Namun demikian, kabut asap 2019 ini ternyata mendapat perhatian khusus dari gubernur riau, bahkan pak presiden jokowi sudah mewanti-wanti apabila kabut asap ini tidak cepat terselesaikan pak presiden minta Kapolri dan Panglima TNI mencopot jabatan jajarannya. Memang secara praktis perintah bapak presiden ini bagus, tetapi tidak menyelesaikan persoalan secara berkelanjutan, terlebih lagi satgas yang dipimpin gubernur riau (Gubri) terkait penertiban lahan 1.4 juta hektar ini juga tidak menyelesaikan akar permasalahan yang ada. Akar permasalahan ini yang harus dicari dan diselesaikan secara bersama-sama. Gubri tidak bisa bergerak sendiri, gubri harus didukung kekuatan sosial yang masif. Gubri harus menjelaskan ke publik mengapa dia menjadi “Panglima” satgas ini dan berapa lama kerjanya serta apa hasil yang akan dicapai dari satgas ini. Publik menunggu penjelasan ini.

Jangan sampai nanti kabut asap hilang, satgas ini juga hilang, ini tentunya menjadi catatan buruk dan menjadi luka sejarah yang berkelanjutan. Dalam perspektif hukum, pembiaran terhadap kejahatan lingkungan, pemegang kekuasaan bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Jika pembiaran tersebut berdampak pada kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, maka pihak-pihak terkait bisa dituduh korupsi.

Pembiaran-pembiaran yang sudah bertahun-tahun oleh oknum-oknum pejabat di Riau dalam melakukan pengawasan ini sudah bisa dikategorikan melakukan perbuatan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya sudah bisa masuk untuk menyelidiki perbuatan yang merugikan keuangan negara/perekonomian negara ini. Temuan Panitia khusus (Pansus) monitoring lahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau dari 190 perusahaan kelapa sawit terbukti tidak memiliki izin dasar perkebunan dan NPWP. Pansus menghitung, dari potensi pajak perkebunan sawit di Provinsi Riau yang mencapai Rp 24 triliun, baru Rp 9 triliun yang mengalir ke kas Negara.

Ini baru temuan kerugiaan keuangan negara/perekonomian negara disektor pajak, bagaiamana dengan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi akibat beroperasinya beberapa perusahaan di Riau yang menyebabkan kabut asap, serta bagaimana kerugian struktur dan sosial budaya semenjak perusahaan-perusahaan ini berada di riau. Memang, tidak mudah menyelesaikan persoalan ini, tidak heran persoalan ini menjadi sulit untuk terselesaikan, tetapi bukan tidak bisa terselesaikan.

Sepertinya benang kusut dan sengkarut lahan 1 juta hektar lebih yang tidak tertib ini, tidak bisa hanya satgas yang dipimpin oleh gubri ini saja bergerak, KPK sebagai institusi publik yang dipercaya oleh masyarakat harus melakukan penindakan untuk menjerat aktor-aktor ataupun pelaku-pelaku yang memberi izin, yang menggunakan izin yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang berkelanjutan yang patut merugikan keuangan negara atau perkenonomian negara untuk ditindaklanjuti dan dibawa ke pengadilan.

Tanpa dibarengi dengan penindakan oleh KPK untuk menertibkan 1 juta hektar lebih lahan yang bermasalah di riau akan sulit untuk terselesaikan dan kita akan terus beramai-ramai mengutuk Kabut Asap dan Korupsi.***

Penulis: Belalang Kampung, 12 Agustus 2019.


[Ikuti GardaPos.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar