Opini

Bahaya HOAX dan Perlunya Tindakan Hukum

(Foto Istimewa, tangkapan layar)

Oleh: Dr. Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia.


GARDAPOS.COM - Sebelum membahas bahaya hoax (bohong atau kebohongan) dalam suatu sistem sosial (negara), perlu diurai pemadanan kata “berita” dengan kata “hoax,” dan kata “informasi” dengan kata “hoax”, untuk melihat makna pemasangan kata tersebut. Hal ini penting agar terjadi pemahaman yang tepat di ruang publik. Selama ini terjadi pemasangan kata tersebut terus menerus sehingga seolah diterima sebagai benar pula.

Wacana tentang hoax (berbohong) mengemuka lagi di ruang publik di ujung awal tahun baru 2022 ini dengan menyertakan diksi “berita hoax” dan “informasi hoax”. Pemakaian kata “berita” di depan kata  “hoax” (bohong) sebagai kebiasaan yang kurang tepat. Bila merujuk pada berbagai definisi, berita (news) itu pasti berdasarkan fakta, data, bukti yang telah melalui proses check and recheck yang ketat. Jadi, berita itu bukan hoax. Berita, ya berita. Hoax, ya hoax. Dengan demikian, berita berada di posisi berseberangan dengan hoax.

Sedangkan informasi dapat didefinisikan sebagai suatu yang dapat mengurangi ketidakpastian. Karena itu, informasi berbasis fakta, atau kejadian, atau peristiwa (benar terjadi). Jadi, hoax itu berbeda dengan informasi. Informasi, ya informasi. Hoax, ya hoax. Dengan demikian, informasi berada di kutub yang berbeda dengan hoax.

Sebagai kebalikan dari berita atau informasi, hoax sangat berbahaya dalam suatu tatanan sosial berbangsa dan bernegara. Hoax merupakan kejahatan luar biasa yang dapat menjadi peletup konflik dan perpecahan sosial, utamanya benturan horizontal antara satu dengan yang lain di tengah masyarakat. Bisa saja satu negara terpecah-pecah karena menyebarnya hoax secara masif dan tak terkendali. Karena itu, daya rusak hoax lebih dahsyat dari perbuatan korupsi. Kenapa? Perilaku korupsi itu mengerogoti ABPN. Artinya yang dirusak materi (barang) dan atau uang. Tapi, hoax merusak peta kongisi dan persepsi orang perorangan yang pada gilirananya membentuk opini publik yang destruktif. Kalau terjadi opini publik destruktif, bisa memicu konflik horizontal yang relatif lebih sulit dikendalikan dibanding konflik sosial vertikal.

Realitas sosial menunjukkan, acap kali hoax mempertajam perbedaaan dan menimbulkan ekslusivitas yang semakin menganga (gaping) antar kelompok satu dengan yang lain di tengah masyarakat. Pada gilirannya hoax sangat berpotensi mengganggu, mengubah atau mengganti ideologi suatu negara. Karena itu, semua komponen bangsa harus bersama-sama melawan hoax, baik hoax yang dinarasikan secara explisit maupun yang implisit. 

Sejumlah teori komunikasi mampu menjelaskan proses terjadinya dan resiko hoax dalam suatu negara yang diwacanakan (masif) di tengah masyarakat. Salah satunya, Teori Konstruksi Sosial. Dalam teori ini diuraikan, realitas sosial merupakan hasil bentukan (produk konstruksi). Realitas damai atau realitas konflik dalam suatu kelompok sosial (negara) merupakan produk dari konstruksi sosial yang bersangkutan melalui tiga tahap, yaitu: (1) tindakan ekternalisasi dengan mencurahkan pikiran, pendapat dan gagasan ke ruang publik; kemudian (2) menimbulkan ojektivasi sebagai hasil kesepakatan atau  “kebenaran” dan menjadi rujukan berperilaku: (3) selanjutnya dilakukan internalisasi terus menerus. Kembali ke tahap satu, dan seterusnya bergulir. 

Hal yang sama dengan terbentuknya ideologi atau anti indeologi tertentu, merupakan hasil konstruksi proses interaksi komunikasi sosial, baik dalam bentuk kompromi atau pertentangan (konflik). Karena itu, ideologi suatu negara bisa mendapat penguatan, atau pelemahan yang diteruskan dengan upaya penghancuran ideologi melalui proses sosial yang terjadi, kemudian membentuk ideologi baru degan interaksi komunikasi pola baru. 

Karena itu, semua anak bangsa, suku bangsa, dan kepercayaan yang ada di seluruh tanah air agar bersama-sama melawan segala bentuk hoax dengan mewacanakan secara masif, terstruktur dan sistematis melalui berbagai jenis dan semua media komunikasi tentang hakekat kebenaran berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Jika tidak, hoax berpotensi kuat menjadi ancaman sangat berbahaya terhadap kesatuan bangsa dan negara. Sebab, hoax mampu menjadi “senjata” menyerang peta kognisi publik yang bisa menimbulkan gerakan anti kebersamaan.

Oleh sebab itu, hoax sangat bertentangan dengan nilai demokrasi. Ketika ada pengaduan ke aparat penegak hukum tentang dugaan terjadinya lontaran pesan hoax di ruang publik yang disertai dengan bukti yang cukup, lalu diproses sesuai dengan hukum (UU), kemudian ada sementara orang berpandangan yang disebut sebagai “matinya demokrasi”. Pandangan ini justru menyesatkan demokrasi itu sendiri, atau tidak berbasis nilai-nilai demokrasi. Penegakan hukum, sebagai produk demokrasi melalui parlemen bersama pemerintah sebagai representasi seluruh rakyat, merupakan perwujudan demokrasi itu sendiri. Hanya di negara demokrasilah terjadi proses penegakan hukum. Dengan kata lain, hukum tegak hanya di negara demokrasi.

Sebagai negara demokrasi sejati, UU atau hukum menjadi landasan pijak bagi setiap warga negara dalam berperilaku, termasuk perilaku komunikasi. Melalui pengaduan, suka tidak suka hoax harus diproses oleh institusi penegak hukum sesuai dengan tahapan hukum. Jika tidak diproses, justru tidak bertentangan dengan nilai demokrasi. Jadi, tidak boleh dibalik. Dialektika dan apapun keputusan setiap tahapan hukum, itulah perwujudan demokrasi berdasarkan hukum. Lagi pula, hanya di negara demokrasi terjadi perjuangan (pertarungan) hukum di pengadilan.

Sebagai tambahan, menurut hemat saya, setidaknya ada enam ciri kebohongan (hoax) dari aspek komunikasi politik yaitu: (1) pesan hoax dilontarkan ke ruang publik tidak bisa ditarik apalagi hilang sekalipun dengan permohonan maaf, maka proses hukum menjadi hal penting. (2) setiap pesan hoax dapat tersimpan lama di peta kognisi khalayak (individu dan publik) dan sulit dilupakan; (3) kebohongan awal yang dilakukan seseorang, akan cenderung dilanjutkannya dengan kebohongan berikutnya untuk menutupi kebohongan sebelumnya; (4) kebohongan sebagai puncak perilaku dari si penyebar hoax, yang sekaligus sebagai tindakan “memproklamirkan” keberadaan dirinya di ruang publik sebagai orang yang berperilaku bohong; (5) pesan hoax dikemas sedemikian rupa sebagai seolah kebenaran agar khalayak tidak melakukan klarifikasi dan berpikir kritis; (6) hoax pasti bertujuan memanipulasi persepsi publik dengan berbagai macam pembenaran dari berbagai perspektif dan menggunakan berbagai rujukan.**


[Ikuti GardaPos.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar