Nasional

Kritik PPDB Berbasis Usia Lebih Tua, Dr Emrus Sihombing: Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta ‘Pemalas’

Dr Emrus Sihombing

GARDAPOS.COM, JAKARTA - Pakar Komunikolog Dr Emrus Sihombing dalam menyikapi fenomena PPDB di Provinsi DKI Jakarta terkait adanya syarat usia lebih tua dalam penerimaan yang diterapkan pada tahun 2020 dalam rilisnya kepada gardapos, mengutip sinarkeadilan.com, Senin (6/7/2020) mengkritik kebijakan tersebut.

Pasalnya, terkait Kebijakan atau Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atau Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB dengan sistem zonasi yang menekankan usia lebih tua sebagai syarat masuk ke Sekolah Negeri, akan menghalangi peran generasi yang lebih muda dalam pembangunan bangsa Indonesia, ungkap Emrus Sihombing.

"Pemaksaan kriteria usia lebih tua dalam PPDB di Provinsi DKI Jakarta, menunjukkan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Pemprov DKI Jakarta adalah seorang ‘pemalas’, pungkasnya.

Disadari atau tidak, bahwa kebijakan tersebut dipastikan menghalangi generasi lebih muda untuk mengambil peran dalam membangun bangsa dan negara Indonesia ini, ujar Dr Emrus di Jakarta.

"Ya jelaslah aturan ini (PPDB) yang diterapkan DKI Jakarta mendapat kritik bahkan penolakan dari berbagai kalangan, khususnya para orang tua murid".

Menurut Dr Emrus Sihombing, kebijakan tersebut sebaiknya dibatalkan atas keadilan pendidikan.

“Mengapa? Saya berpendapat, setidaknya  ada empat hal belum maksimal dilakukan oleh  Pemda DKI Jakarta,” ujarnya.

Keempat hal itu, lanjut Emrus yang merupakan Direktur Eksekutif EmrusCorner ini:

Pertama, kebijakan ini tampaknya tidak melalui kajian yang memadai, karena masih banyak variabel pendidikan belum menjadi pertimbangan utama. Misal, semangat belajar siswa dan siswi yang bervariasi.

Karena itu, lanjut pengajar di Universitas Pelita Harapan (UPH) ini, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu studi mendalam dan konprehensip dengan melibatkan para pemangku kepentingan, antara lain siswa dan siswi, orang tua murid,  pakar pendidikan, dan sebagainya.

Kedua, kebijakan ini bisa jadi  tidak melalui sosialisasi yang intensif sehingga menimbulkan penolakan dari kalangan masyarakat yang merasa tidak memperoleh keadilan pendidikan atas kebijakan tersebut.

Untuk itu,  sebelum kebijakan diberlakukan,  mutlak harus dilakukan sosialisasi yang memadai dengan manajemen komunikasi yang baik.

Ketiga, kriteria mengutamakan usia yang lebih tua tidak berkorelasi langsung dengan prestasi akademik siswa dan siswi dalam proses belajar mengajar.

Selain berpotensi melanggar hak azasi manusia  (HAM) memperoleh pendidikan, lanjut Emrus, langsung atau tidak langsung tindakan ini menghalangi generasi yang lebih muda dan berprestasi mengambil peran membangun bangsa dan negara.

“Sementara setiap negara di dunia berpacu mendorong generasi muda tampil dalam persaingan global. Karena itu, mengutamakan usia yang lebih tua sebagai kriteria penerimaan siswa dan siswi dibatalkan saja,” cetusnya.

Keempat,  mengutamakan usia yang lebih tua, adalah sekaligus bukti bahwa Pemda DKI Jakarta belum berpihak penuh terhadap pembangunan sektor pendidikan.

“Jika alasan daya tampung sebagai salah satu dasar penentuan kriteria usia yang lebih tua didahulukan, itu tidak rasional. Gubernur DKI Jakarta harusnya mengedepankan pembiayaan pembangunan pendidikan daripada sektor lain,” jelasnya.

Sebagai contoh, biaya puluhan anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), tunjangan dan fasilitas Gubernur dan Wagub, serta Tunjangan Kenerja Daerah (TKD) PNS DKI Jakarta yang sangat fantastis per tahun itu, bisa dialokasikan ke sektor pendidikan.

Kemudian lanjutnya, keterbatasan daya tampung akan selalu dapat dituntaskan selama periode lima tahunan jabatan Gubernur.

“Bukan malah membuat kebijakan yang tidak produktif dalam rangka negara ini membangun sumber daya manusia (SDM) yang masa produktifnya lebih panjang,” ungkapnya.

Menurutnya, kebijakan Kepala Dinas Pendidikan DKIJakarta tersebut,  juga sebagai contoh kebijakan yang tidak mau berkeringat alias "pemalas".

Masa setiap ada masalah, kok diatasi dengan kebijakan dalam bentuk aturan atau pembatasan. Kalau seperti ini, siapapun bisa jadi Kepala Daerah atau Kepala Dinas, tegasnya.

Harusnya, menyelesaikan setiap persoalan dengan tindakan program, dalam hal ini membangun sarana dan prasarana pendidikan,” tutup Dr Emrus Sihombing.


(*/rls/JR)


[Ikuti GardaPos.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar