Opini Belalang Kampung

Kabut Asap Riau, Siapa Yang Bertanggungjawab?

GARDAPOS.COM, RIAU - Belalang sedih, jutaan hektar hutan Riau sudah dibantai demi investasi, bahkan hutan riau tidak ada tersisa lagi. Masa depan kelam akan menyelimuti Riau. Bahkan hutan lindung telah diperjual belikan, yang tersisa hanya nama.

Dahulu di Riau, sebelum datang yang mengatas namakan investasi, rakyat Riau tidak perlu bersusah payah untuk mencari makan, karena semuanya tersedia di hutan. Ikan, buah-buahan bahkan sayuran berlimpah di hutan. Sekarang, ikan bahkan sayuran Riau harus mengimpor dari provinsi tetangga.

Kebijakan penggundulan hutan di Riau ugalan-ugalan ini akibat pemanfaatan hutan secara ilegal, termasuk penebangan liar yang terus terjadi di Provinsi Riau, laju kerusakan hutan alam Riau mencapai 160.000 hektar per tahun. Kini, luas hutan alam di Riau sekitar 1 juta hektar lebih. Namun, diperkirakan tahun 2025 nanti hanya tinggal enam persennya saja alias gundul. Sekarang saja tercatat 2,8 juta hektar lahan dalam kondisi kritis dalam artian telah ditebang habis tegakan kayunya. Sementara, upaya penyelamatan hutan masih sekadar wacana, terbukti dengan makin maraknya izin HPH, HTI, perkebunan, dan IPK di kawasan hutan alam.

Data dari Dinas Kehutanan Riau tahun 2004 menunjukkan laju kerusakan hutan alam Riau memang semakin menurun dibandingkan era tahun 1990-an. Kala itu, setiap tahunnya terjadi kerusakan hutan hingga 500.000 hektar. Penurunan tingkat kerusakan pada tahun 2000-an ini bukan lantaran bangkitnya kesadaran melestarikan alam, tetapi lebih karena luasan hutan alam yang makin berkurang. Tingginya tingkat degradasi hutan alam disebabkan tingginya kebutuhan bahan baku kayu untuk industri di Riau yang melebihi kapasitas, yaitu 23,5 juta meter kubik per tahun. Sebanyak 18 meter kubik di antaranya dipasok untuk kebutuhan PT Riau Andalan Pulp and Paper dan PT Indah Kiat Pulp and Paper serta untuk pemenuhan permintaan CPO yang terus meningkat.

Padahal, kemampuan produksi normal hutan alam Riau untuk memenuhi kebutuhan produksi hanya 7,5 juta meter kubik per tahun. Berarti ada kekurangan 16 juta meter kubik per tahun yang mau tidak mau berusaha dipenuhi. Pemanfaatan hutan liar pun dituding sebagai solusi yang memungkinkan. Kerusakan hutan alam Riau diperparah dengan adanya tingkat penyelundupan antarwilayah maupun ke luar negeri sangat tinggi didukung masih maraknya praktik korupsi. Kerusakan nyata saat ini yaitu di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo di Kabupaten Pelelawan dan Indragiri Hulu. TN Tesso Nilo di Provinsi Riau yang baru diresmikan satu tahun lalu gencar dirambah.

Sekarang masyarakat mulai sadar, hutan riau nyaris tidak ada lagi, yang tersisa adalah bahwa dahulu di Riau hutan sangat lebat. Yang terjadi sekarang adalah Riau hampir setiap tahun mendapat musibah asap bahkan ditempat-tempat tertentu ketika hujan lebat mendapat kebanjiran.

Korban berjatuhan, penyakit ISPA berdatangan ketika kabut asap datang, ketika banjir banyak yang mengalami kerugian materiil. Yang jelas atas semua ini rakyat selalu yang menjadi korban.

Siapa yang harus bertanggungjawab atas semua ini. Pertama, adalah pemberi izin (pemerintah). Pemerintah harus mendorong korporasi-korporasi HTI dan Perkebunan sawit untuk mematuhi ketentuan perlindungan hidup yang berkelanjutan. Pemerintah sebaiknya mengambil alih luas lahan korporasi sebanyak 20 persen untuk ditanam kembali pepopohan hutan dan mengembalikan fungsi-fungsi hutan sebagaimana sediakalanya. Pengambil alihan lahan sebanyak 20 persen lahan ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Mengingat pasti ada upaya perlawanan dari korporasi-korporasi. Mereka akan berlindung dibalik kepastian hukum.

Namun ini adalah risiko yang terkecil dihadapi oleh pemerintah karena akan digugat oleh korporasi-korporasi. Risiko terbesar apabila kebijakan ini tidak dilakukan, serangan asap, sawit kotor, kertas kotor serta produk-produk turunan lainnya akan selalau di kampanyekan oleh konsumen-konsumen cerdas yang ada di eropa, amerika dan dibeberapa negara lainnya, serta serangan kabut asap dan kebanjiran akan selalu ada di Riau. Jika kebijakan ini dijalankan oleh pemerintah, Riau akan mempunyai 20 persen atau setara 1,2 juta hektar hutan alam yang akan kembali dihidupkan dari seluruh izin HTI ataupun HGU yang mencapai 6.8 juta hektar.

Pemerintah selanjutnya melakukan tindakan hukum yang keras kepada perusahaan yang lahannya terbakar ataupun dibakar. Pemerintah juga harus mengevaluasi kembali pemberian izin yang tidak menerapkan standar prinsip lingkungan yang baik serta yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah juga perlu meminta tanggungjawab korporasi-korporasi yang telah menghilangkankan ekosistem alam yang ada semenjak pemberian izin dikeluarkan. Pemerintah juga harus memaksakan kepada perusahaan sawit ataupun HTI untuk membuka akses informasi terhadap hasil produksinya untuk melihat besaran pajak yang harus dibayarkan kepada negara.

Kepada korporasi-korporasi sebaiknya menjaga lingkungan yang berkelanjutan yaitu mematuhi kepatuhan perlindungan danau, sungai, hewan dan kondisi sosial yang ada di daerah dimana perusahaan beroperasi.

Terhadap dari semua persoalan diatas tadi, yang paling bertanggungjawab dari semua ini adalah kementerian lingkungan dan kehutanan (KLHK). KLHK sebaiknya menunjukkan kepada dunia bahwa KLHK serius untuk membenahi penggundulan hutan yang ada di Indonesia khususnya di Riau. KLHK secara bersama-sama dengan KPK meninjau kembali seluruh perizinan yang dipegang oleh korporasi HTI dan perkebunan Sawit. Jika terdapat pemberiaan izin yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup KPK sudah bisa melakukan tindakan tegas. Rakyat sedang menunggu gerakan KPK untuk menjewer oknum pemberi izin dan korporasi-korporasi yang tidak mengindahkan prinsip lingkungan hidup yang berkelanjutan. Tetapi apakah gerakan ini akan dilakukan, belalang kampung tidak tahu.... ***


Penulis: Belalang Kampung, 14 Agustus 2019.


[Ikuti GardaPos.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar