Opini

MK “Menggelar Karpet Merah” Kepada Kepala Daerah Menjadi Calon Presiden/Wakil Presiden di Tengah Ratusan Kepala Daerah Terjerat Korupsi

(Ist).

GARDAPOS.COM, JAKARTA - Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023, mengukuhkan (MK) Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga, demi mengakomodir hasrat politik kepala daerah tertentu mendapat karpet merah  menjadi Capres-Cawapres 2024, Demikian rangkuman pandangan tiga nararasumber, Petrus Selestinus, S.H., advokat dan koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI); Tama S. Langkun, Jubir TPN Ganjar-Mahfud dan Emrus Sihombing, komunikolog Indonesia pada Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) bertajuk “Keputusan MK, Adil Untuk Siapa”, Sabtu, 21 Oktober 2023 di Kawasan Pasar Minggu

Menurut Petrus Selestinus, keputusan MK tersebut berpotensi melanggar Konstitusi dan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. “Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023   berpotensi melanggar rambu-rambu berupa asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 3,4, dan ayat 5, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No. 48 Tahun 2009, putusan MK itu menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya” jelas Petrus.

Akibat hukumnya, demikian Petrus menambahkan, putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu serta merta kehilangan sifat mengikat itu oleh ketentuan pasal 17 ayat 6 UU No. 48 Tahun 2009. Selain itu, lanjut Petrus, Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Anwar Usman bisa saja atau berotensi dilaporkan secara pidana ke aparat hukum. Khusus Anwar Usman dapat dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi untuk memproses dugaan pelanggaran Etik dan bisa berujung pemecatan.

Jika Gibran Rakabuming dipasangkan sebagai Capres atau Cawapres, dengan menggunakan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, maka akan berpotensi digugat karena menggunakan putusan MK yang boleh jadi btidak sah, tambahnya.

Pada Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) yang didirikan oleh Emrus Sihombing ini, Tama S. Langkun menyoroti secara tajam terkait dengan Keputusan MK, tanggal 16 Oktober 2023. Kelima hal tersebut sebagai berikut.

“Menurut saya dalam putusan MK, putusan ni tidak untuk orang muda. Putusan MK seperti ni untuk mendorong orang muda, seperti yang digembor-gemborkan, ini tidak sama sekali untuk orang muda. Putusan ini tidak bilang begitu. Putusan ini bilang begini; berusia pada usia 40 tahun atau pernah  sedang menduduki jabatan  yang dipilih secara langsung termasuk pemilihan kepala daerah. Ini berbicara tentang orang yang dipilih langsung melalui pemilu.  Ini hanya bicara soal mungkin saja ada kepala daerah yang 40 tahun yang dijagokan”, urai Langkun.

Selanjutnya Langkun berpendapat, bicara legal standing, biasanya di MK sangat kuat. Sekarang tampaknya longgar. Kenapa Longgar? Ada Mahasiswa pengagum Wali Kota Solo, tiba tiba punya legal standing untuk menggugat.  Alasannya, karena mahasiswa anak muda. “Kan tidak ada hubungannya juga. Sebab, yang digugat materi tentang kelapa daerah maju menjadi calon presiden/wakil presiden. Jadi, legal standing ini agak aneh. Kami juga pernah mengajukan permohonan guguatan ke MK, tapi ditolak karena legal standing tidak jelas. Jadi, begitu masuk permohonan ditolak.  Nah, sekarang mahasiswa tiba-tiba diterima”, demikian Langkun membandingkan.

Lebih lanjut Langkun menjelaskan, memuat norma norma hukum yang dijunjung tinggi oleh konstitusi dirusak. Sebagai open legal policy, perubahan umur minimal calon presiden/wakil presiden harus dikembalikan ke DPR bersama-sama Presiden. MK tidak mencampuri angka umur minimal 40 tahun karena  tidak melanggar konstitusi. Konstitusi hanya menjamin soal orang bisa memilih dan dipilih. Jadi, hanya esensi saja. “Tapi harus 40 tahun ya. Itu bukan urusan konstitusi. Itu urusan DPR dan Presiden” tegas Langkun.

Pada acara Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Gogo Bangun Negeri (GBN) tersebut, Emrus Sihombing mengatakan bahwa dirinya berkewajiban, sebagaimana  diperintahkan UU, bagaimanapun ia harus menghargai keputusan MK. Sebab, keputusan bersifat final dan mengikat. Namun di sisi lain, mengajak masyarakat memberikan pemikiran atau kritikal terhadap keputusan MK tertanggal 16 Oktober 2023 tersebut.

Pada bagian-bagaian awal keputusan-keputusan MK tersebut, menurut hemat Emrus, sangat tepat, menetapkan usia minimal sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yaitu usia calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun.

Namun salah satu keputusan, demikian Emrus Sihombing mengakui keputusan MK menimbulkan keprihatinan berbagai kalangan. Pemakaian kata “atau” untuk kepala daerah bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden, sekalipun usianya di bawah 40 tahun,  sehingga keputusan MK sangat bertentangan dengan azas keadilan.

Pengajuan  calon presiden dan wakil presiden dari kepala daerah di bawah usia 40 tahun dikabulkan oleh MK, di tengah puluhan gubernur dan ratusan kepala daerah tingkat dua terjerat kasus korupsi. Artinya apa? MK memberikan suatu privilege (perlakukan eksklusif) terhadap kepala daerah untuk menjadi calon presiden/wakil residen sekalipun umurnya di bawah 40 tahun. Keputusan ini, menurut hemat Emrus, tidak sejalan dengan dasar negara kita, Pancasila, sila ke lima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Mengapa?

Pertanyaan kritikal, hanya kepada kepala daerah yang boleh menjadi calon presiden/wakil presiden sekalipun usianya di bawah 40 tahun. “Kalau misalnya alasannya adalah persoalan Kepala Daerah adalah dipilih langsung oleh rakyat, bukankah anggota legislatif di semua tingkatan dan DPD RI dan kepala desa dipilih langsung oleh rakyat? Jadi, keputusan MK berpotensi menyakiti dan melukai hati rakyat karena keputusan tersebut jauh dari rasa keadilan masyarakat dalam bidang politik demokrasi” ujarnya.

Karena itu, keputusan MK tersebut harusnya juga memuat bahwa kepala desa, anggota legislatif di semua tingkatkan dan DPD RI bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden sekalipun usianya di bawah 40 tahun, sebab mereka memperoleh posisi/jabatan tersebut karena dipilih oleh rakyat, sehingga lebih rasional sekalipun tetap belum sejalan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Kemudian kita lihat dari sudut lebih makro lagi. Apa memang pemberian privilege  itu kepada Kepala Daerah,  bahwa mereka lebih berjasa untuk membangun bangsa dan negara? Saya kira tidak juga. Artinya apa? Kita boleh dong dari berbagai sumber yang ada di masyarakat, misalnya pengusaha, dosen, wartawan, petani, nelayan, buruh pabrik, penarik beca menjadi calon presiden/wakil presiden. Ada dosen di negeri ini masih muda, di bawah 35 tahun sudah doktor dan tulisannya berkualitas internasional. Secara kualitas, dosen tersebut tidak kalah, atau di atas kemampuan dari seorang kepala daerah yang mungkin maju sebagai calon presiden/wakil presiden pada pemilu 2024.  Perlu kita ingat, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih. Oleh karena itu, keputusan MK tersebut, menurut hemat saya, jauh dari keadilan berdemokrasi bagi setiap WNI”. Demikian Emrus memberikan argumentasi.

Tidak boleh terjadi karena saudara/famili, ikatan darah, atau teman sehingga yang berwenang memutuskan atau membolehkan calon presiden/wakil presiden dengan perlakukan privilege. “Pemberian privilege terhadap keputusan teman-teman hakim di MK bisa saja publik mempersepsikan, memahami, memaknai bahwa itu merupakan suatu keputusan yang boleh jadi sarat muatan politis untuk kepentingan politik prakmatis sosok tertentu. Lihat saja, keputusan MK mendapat kritik dari berbagai kalangan. Sebagai suatu akal-akalan, misalnya. Bahkan sudah muncul diksi  di ruang publik “Mahkamah Keluarga” sebagai singkatan dari MK.

“Keputusan MK tertanggal 16 Oktober 2023, dari aspek komunikasi publik, berpotensi menimbulkan wacana kurang poduktif di ruang publik.  Buktinya, silahkan mengikuti berkembang pandangan yang kontra yang tampaknya lebih dominan menguasai ruang publik. Keputusan MK tersebut, ada yang berpendapat bahwa hal tersebut kewenangan daripada DPR bersama Presiden. Karena open legal policy, suatu kebijakan yang terbuka di dalam pembuatan undang-undang yaitu DPR bersama-sama Presiden. Sehingga keputusan MK bisa menimbulkan kegaduhan wacana di ruang publik” Emrus menambahkan.

Oleh sebab itu, kata Emrus, pandangan para pakar hukum tata negara bahwa itu open legal policy masuk akal. Sebab, undang-undang (UU) dirubah dengan UU. Penentuan usia minimal 40 tahun  menjadi calon presiden/wakil presiden berada di rana UU.

Emrus mengusulkan lima saran mengakhiri wacana yang tidak produktif terkait keputusan MK tertanggal 16 0ktober 2023. Pertama, presiden mengeluarkan Perpu agar siapapun yang menjadi calon presiden/wakil presiden, tanpa memandang jabatan dan latarbelakang pengabdian untuk bangsa dan negara, usia disamakan minimal 40 tahun. Perpu ini penting meujudkan keadilan bidang kehidupan politik, khususnya berdemokrasi, sebagai turunan dari sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ingat, Sekjen PBB memuji nilai Pancasila kita. Karena itu, kita semua, rakyat Indonesia, tak terkecuali teman-teman hakim di MK, wajib menerapkan, taat dan melestarikan nila-nilai Pancasila dalam segala perilaku dan kebijakan yang dibuat.

Kedua, Emrus mengusulkan ke teman-teman di DPR dan pemerintah segera merubah UU yang mengatur usia minimum 40 tahun menjadi calon presiden/wakil presiden yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak boleh ada perlakukan privilege kepada kepala daerah, sehingga membolehkan mereka menjadi calon presiden/wakil presiden di bawah umur 40.

Namun, saya menyadari, karena kepentingan prakmatis bukan ideologis, partai yang diuntungkan dengan keptusan MK kemungkinan besar tidak setuju atau malakukan politik waktu, dengan mengulur-ulur waktu. Karena itu, usul kedua ini  cenderung tidak terwujud.

Ketiga, belajar dari keputusan MK tertanggal 16 Oktober 2023 dan pernah terjadi dugaan korupsi yang dilakukan oleh hakim MK, perlu dibentuk Komisi Pengawasan Hakim MK. Komisi ini diberi kewenang jika hakim MK melakukan tugas/tindakan tidak sesuai dengan kewajibannya menurut UU, untuk memecat hakim yang bersangkutan. Sebab, hakim itu tetap manusia yang bisa melakukan penyimpangan.

Keempat, perlu direvisi penyebutan hakim sebagai yang “mulia”. Sebab, hanya Tuhan yang pantas kita sebut yang mulia. Kelima, para hakim perlu proaktif mengusulkan agar mereka/dirinya tidak perlu disebut yang “mulia”, cukup dengan sebutan Ibu/Bapak hakim.[]

 

Catatan ini dibuat oleh Emrus Sihombing Pengamat Komunikasi Politik Nasional berdasarkan pandangan dari para narasumber di diskusi publik hari ini (21/10) “Keputusan MK, Adil Untuk Siapa”


[Ikuti GardaPos.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar