Omong Kosong Pencegahan Korupsi

Jumat, 09 Agustus 2019

GARDAPOS.COM, RIAU - Hari-hari ini masyarakat menyaksikan penangkapan oknum-oknum pejabat mulai dari Bupati hingga anggota DPR yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahasa ini sudah melekat di warga dengan sebutan OTT (operasi tangkap tangan). OTT ini sangat direspon baik oleh masyarakat pada umumnya. Mengapa, karena dengan OTT ini oknum oknum pejabat atau penyelenggara tidak bisa berbuat banyak karena seluruh bukti-bukti kebejatannya dalam berbuat jahat dengan menggunakan kewenangan serta kekuasaan berhasil mengumpulkan uang secara haram.

Pada sepanjang tahun 2018, Pimpinan KPK Saut Situmorang menyebut jumlah (OTT) sudah melakukan 28 operasi tangkap tangan dan menetapkan 108 orang sebagai tersangka. Jumlah kasus tangkap tangan di tahun 2018 ini melampaui tahun sebelumnya pada tahun 2017 sebanyak 19 kali OTT dan merupakan terbanyak sepanjang sejarah berdirinya KPK. Saut juga mengatakan bahwa bagian penindakan KPK pada tahun ini memang cukup sibuk. Dalam kurun setahun, komisi genap mengerjakan 157 penyelidikan, 178 penyidikan, 128 penuntutan, dan 102 eksekusi atas putusan pengadilan.

Melihat hasil ini tentu tidak cukup memuaskan publik. Karena apa, masih banyak oknum oknum pejabat di daerah masih bersuka cita untuk melahap uang rakyat. Untuk memuaskan hati publik kemudian KPK mulai melakukan pencegahan korupsi secara masif yang melibatkan seluruh sektor yang ada dalam masyarakat. Tidak tanggung-tanggung KPK membuat rilis bahwa ada 6 provinsi yang masuk target pemberantasan korupsi. 6 provinsi tersebut adalah, Riau, Aceh, Papua, Papua Barat, Sumut, dan Banten.

Mengapa KPK memasukkan ke 6 provinsi tersebut, Pimpinan KPK Laode M. Syarif mengatakan 6 provinsi tersebut dijadikan target pemberantasan korupsi karena korupsi disektor sumber daya alam karena itu memang banyak dilakukan sebelumnya. Kedua, pengadaan barang dan jasa. untuk Riau misalnya, banyak para pejabat di Riau terjerat KPK karena ‘bermain' di sektor Kehutanan, seperti Annas Maamun dan Rusli Zainal maupun pejabat lainnya. "Sektor kehutanan paling penting, karena kalau dilihat kebun sawit aja ada lebih 2 juta hektare. Maka besar kemungkinannya Pemda dan Dinas Lingkungan Kehutanan,  benar-benarh harus melihat rencana tata wilayah Provinsi Riau. Untuk menekan jumlah koruptor di Riau, KPK bahkan menurunkan tim ke Bumi Lancang Kuning ini secara rutin.
Bahkan Laode mengatakan tim pencegahan KPK selalu ke Riau untuk menjaga tidak terjadi lagi Gubernur Riau ditahan KPK. Bahkan, setelah dilantiknya Syamsuar dan Edy Natar Nasution untuk memimpin Riau lima tahun ke depan, KPK langsung memperingati mereka. Yaitu, untuk lebih berhati-hati, khususnya perizinan sektor kehutanan.

Selanjutnya Laode juga mengatakan tak punya niat lagi memenjarakan Gubri. Kan sudah tiga kali, kalau terjadi lagi seakan-akan pencegahannya gak jalan. Masa ada Gubernur ke empat di KPK berturut-turut, semoga tak terjadi. Laode menambahkan, yang bisa mengawasi agar tak terjadi lagi kasus-kasus korupsi adalah orang-orang intelektual yang fokus pada program anti korupsi.

Peringaatan demi peringatan oleh KPK sepertinya diabaikan oleh oknum-oknum pejabat di Riau.

FORMASI RIAU sendiri sudah mengingatkan agar Komitmen Bersama Pemerintah Daerah Se Provinsi Riau dengan KPK tanggal 13 April 2016 agar sungguh-sungguh dilaksanakan oleh Gubernur dan Bupati-Bupati Se Kabupaten di Riau, terutama pada point 6, 7, 8 dan 9. Komitmen tersebut antara lain "Membentuk komite integritas, partisipasi publik, peningkatan SDM dan melaksanakan aksi anti korupsi yang berkelanjutan".

Sudah tiga tahun lebih komitmen pencegahan korupsi ini berjalan tapi belum menyentuh akar permasalahan. Sepertinya komitmen pencegahan korupsi yang ditandatangani oleh bupati se-riau dan gubernur riau bersama dengan KPK dianggap sebagai omong kosong pencegahan korupsi. Mengapa, praktek-praktek koruptif masih terus berlangsung, bahkan terkesan tidak berkurang. Dengan segala cara oknum-oknum pejabat daerah kucing-kucingan untuk melakukan pencegahan korupsi, bahkan ada yang terkesan pasrah tapi tak rela untuk diperiksa kejahatannya. Wajar dan beralasan, masyarakat banyak yang tidak percaya, kecuali KPK melakukan OTT.

Memang secara hukum, OTT ini tidak diperlukan lagi, tetapi dengan syarat oknum pejabat-pejabat tersebut memang bersih dan serius ingin berbenah. Tetapi yang menjadi persoalan adalah mereka belum mau berbenah. Mengapa demikian, karena penyakit korupsi oknum pejabat-pejabat ini sudah seperti pecandu akut narkotika. Pecandu akut tidak akan bisa diingatkan melalui cara apapaun, kecuali ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.***

Penulis: Belalang Kampung, 9 Agustus 2019.