Dr Elvriadi Sindir Tugas LHK dan KLHK Harusnya Sudah 'Inheren', Tak Perlu Menunggu Digugat Masyarakat Riau

Selasa, 26 Oktober 2021

DR. Elvriadi. (Foto Istimewa).

GARDAPOS.COM, PEKANBARU - Setelah sekian lama melalui jalan persidangan di PN Pekanbaru, gugatan lingkungan hidup dari Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) terhadap PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI), SKK Migas, Menteri Lingkungan Hidup dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau masuk pada tahap mediasi.

Tanggapan pun bermunculan terkait proses gugatan organisasi lingkungan itu dimana telah menyedot perhatian publik termasuk dari tokoh masyarakat sekaligus akademisi dan pakar lingkungan hidup Dr. Elviriadi.

"Sebaiknya PT CPI dan Tergugat Patuhi UU, Saya mengucapkan apresiasi dan tahniah kepada LPPHI, majelis hakim maupun pihak tergugat," ungkap Elvriadi kepada gardapos.com (26/10/2021).

Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) sudah aspiratif dan relevan. Masyarakat Riau tentu akan dihadapkan pada bahaya permanen jika soal limbah B3 tidak ditangani dengan komprehensif. Karena sifat akumulatif B3 itu punya dimensi destruksi ekologi, sosial, pertanian dan sumberdaya alam lainnya," kata Dr. Elvriadi yang juga Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI itu.

Ia menilai bahwa gugatan LPPHI sudah sangat relevan dengan suara hati masyarakat Riau, "Tahniah dan apreciate" LPPHI sudah membuktikan legal standing, majelis hakim cukup bijak menilai. Publik tentu berharap para tergugat legowo, ungkap Elvriadi yang kerap menjadi ahli di pengadilan itu.

Ia meminta PT CPI, Pemprov Riau dan KLHK mematuhi aturan perundangan RI, dan bagi LPPHI agar menyiapkan narasi kritis dan skeptis dalam mengawasi skenario mediasi yang diputuskan majelis hakim.

"Ya, tentu sudah sepatutnya para tergugat mematuhi amanat UU dan peraturan turunan lainnya. Dalam UU PPLH (No.32 Tahun 2009) dinyatakan dengan jelas kok kewajiban pemulihan ekosistem bagi badan hukum yang mengeluarkan limbah. Begitu juga tugas negara, dalam hal ini Dinas LHK dan KLHK. Seharusnya sudah 'inheren' (melekat), tak perlu menunggu ada gugatan dari masyarakat, tapi itulah Indonesia," sindir Elv mantan aktivis mahasiswa ini.

Dalam kasus ini harus ada narasi ilmiah dan tradisi berfikir skeptis dari LPPHI, karena ini bukan kerja kecil dan prosedurnya juga ketat. Mulai dari Tim Penilai yang idealis (tidak sekedar kompeten), luas wilayah terdampak, metode pemulihan yang 'base on sains' dan teknologi, 'scientific appraisal' dan 'final approval'. semua mesti pruden dan rigid.

"Kalau tak gitu, kepunan lah masyarakat Riau. Kepunan Telouw Temakollah, Wak!" Pungkas peneliti yang setia gundul kepala demi hutan.**[]