Zona Pasar Bebas, Indonesia Diambang Badai Perdagangan Internasional

Rabu, 29 September 2021

Oleh: Heri Kurnia


GARDAPOS.COM, PEKANBARU - Perkembangan  perdagangan internasional saat ini mengarah pada bentuk perdagangan yang lebih bebas disertai berbagai bentuk kerja sama bilateral, regional dan multilateral. Salah satu tujuan utama perjanjian perdagangan internasional adalah berupaya mengurangi atau menghilangkan hambatan perdagangan.

Liberalisasi perdagangan dunia dengan pola kerja sama internasional memberikan implikasi yang positif teradap pertumbuhan ekonomi dunia. Nilai perdagangan dunia tumbuh dua kali lipat lebih dari pada pertumbuhan Produk Domestic Bruto(PDB).

Kerjasama Asean Cina Free Trade Area (ACFTA) membuat Negara- Negara di Asean dengan China terus menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun. Di sisi Asean jelas China merupakan mitra dagang penting sebagai Negara tujuan ekspor. Perdagangan antara asean dan China mempunyai kecendrungan untuk terus meningkat, hal ini dikarenakan Kerjasama Asean Cina Free Trade Area (ACFTA)  semakin menunjukkan akan pentingnya perdagangan ASEAN- China bagi keduanya.

Keunggulan dan prospek ACFTA mengungkapkan bahwa ACFTA, yang terdiri dari 11 ekonomi dengan total populasi dan GDP yang cukup besar, sangat memungkinkan untuk menjadi suatu kawasan kerjasama ekonomi yang efektif. besarnya level tariff intra wilayah juga merupakan potensi yang dapat meningkatkan trade creation. Meskipun China dan Asean telah berupaya meliberasikan perdagangannya namun pada kenyataannya tingkat tarif dan hambatan antara keduanya ternyata masih cukup tinggi, sehingga memungkinkan untuk terciptanya trade creation.

Indonesia sendiri dalam FREE TRADE ZONE telah menjadi anggota  GATT sejak bernama United states of Indonesia yang dinotifikasi oleh pemerintah belanda pada tahun 1950. Sejak saat itulah Indonesia mulai berpartisipasi aktif dalam berbagai perundingan internasional hingga putaran perundingan Uruguay. Komitmen Indonesia di word trade organization (WTO) yang berdiri 1 januari 1995 dilatar belakangi oleh optimisme pemerintah yang berunding selam putaran Uruguay.

Saat itu Indonesia telah terjadi perubahan struktur kebijakan perdagangan di dalam negeri dan lingkungan perdagangan internasional. Sehingga orientasi kebijakan Indonesia yang sebelumnya “inward looking” menjadi “outword looking” sebagai konsekuensinya, pemerintah maupun dunia usaha harus didorong untuk gigih menghadapi persaingan liberalisasi perdagangan dalam dunia internasional untuk menyediakan produk berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif dipasar global.

Indonesia telah terikat dan banyak menjadi contracting party atau menjadi subjek dalam FTA. Indonesia sendiri telah ikut dalam berbagai kemitraan perjanjian perdagangan bebas seperti misalnya perjanjian perdagangan bebas assean free trade area (AFTA) dan Asean china free trade agreement (ACFTA)
Indonesia masuk babak baru, dengan masuknya barang-barang impor China dikawasan ASEAN. Mitra dagang Indonesia dari kawasan asean yang selama ini terjalin berpotensi mengalami penurunan. Dari hasil model GTAP, diperoleh perkiraan ekspor Negara ASEAN kekawasan ASEAN mengalami penurunan 4,9 %, termasuk penurunan ekspor Indonesia sebesar 4,4%. Disisi lain ekspor cina  ke asean mengalami peningkatan 50,5%.  Menunjukkan bahwa komoditas barang ekspor China dan asean cendrung menunjukkan arah yang berkurang tingkat persamaan komoditasnya. Hal ini sejalan dengan  perkembangan ekspor barang daric in yang bergerak kearah ekspor barang industry.

Maka dari pada itu Indonesia harus melakukan  kompetisi Produk-produk internasional, Jika tidak, Ketakukan akan ketidakmampuan bersaing produk dalam negeri dalam menghadapi serangan produk impor dari China akan lebih besar, ketakutan akan ketidakmampuan Produk Ekspor untuk masuk  pasar China yang terbuka lebar merupakan tantangan yang apabila dikelola dengan bijaksana maka akan jadi peluang yang pasar yang sangat potensial.[]