Ketika Menteri Komunikasi Bukan Dari Komunikolog Tulen

Ahad, 18 Oktober 2020

Istimewa. (Sumber gbr.net)

GARDAPOS.COM, JAKARTA - Kalau pemerintah bilang itu hoaks versi pemerintah, ya, berarti hoaks. Kenapa membantah lagi? Itulah sebuah lontaran pesan dari seorang menteri komunikasi yang dimuat di beberapa media baru-baru ini. 

Pernyataan tersebut berpotensi seolah memposisikan  pemerintahan sebagai penafsir tunggal dan atau pemonopoli kebenaran di ruang publik. Akibatnya, muncul berbagai pandangan yang kontra. Saya belum menemukan yang pro, demikian ungkap DR. Emrus Sihombing, Minggu (18/10/2020).

Tentu, pandangan menteri tersebut tidak dikehendaki pencetus dan para pejuang demokrasi yang mengedepankan kesetaraan komunikasi pada semua konteks sosial. Selain itu, Presiden dan Wakil Presiden yang mengangkat menteri yang bersangkutan sangat tidak menghendaki demikian, karena mereka dipilih oleh rakyat melalui demokrasi.

Oleh karena itu, pernyataan tersebut sangat tidak sejalan dengan perinsip-prinsip demokrasi, yaitu salah satu di antaranya adalah bahwa pemerintah senantiasa bersama-sama dengan rakyat, berdialog dan berdialektika kesetaraan menuju suasana komunikasi yang saling memahami satu dengan lain.

Lain halnya jika menteri komunikasi dari seorang  komunikolog tulen. Sebab, seorang komunikolog tulen selalu mengedepankan dialog dan manajemen komunikasi kesetaraan karena menguasai dan paham betul konsep dan teori komunikasi serta suasana sosial politik dalam berdialektika di ruang publik.

Karena itu menurut Emrus, jabatan menteri, selain mempertimbangkan aspek politik juga mutlak harus memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang kerja kementerian. Artinya, menteri komunikasi selayaknya komunikolog tulen, yang keilmuannya linear. []